Foto: Komposter Aerob, Sobirin 2010
Kini Sobirin punya tujuh komposter di rumahnya. Di halaman depan terdapat empat lubang komposter anaerob dan satu komposter aerob. Sisanya, dua komposter anaerob ada di halaman belakang. Mulut lubang anaerob sengaja dibeton, agar tidak longsor, namun didalamnya tetap tanah telanjang.
INVESTASI HIJAU TIGA PULUH MENIT
14 Nov 2010, Lingkungan – Media Indonesia
Mereduksi sampah rumah tangga tak membutuhkan waktu sepanjang durasi film di bioskop per hari. Hasilnya, kompos dan bahan kerajinan daur ulang. Sica Harum
Rumah berhalaman luas di kawasan Cigadung, Bandung, Jawa Barat, itu tampak senyap-segar. Beberapa pohon besar memayungi tanah yang berumput itu. Sejumlah pot tanaman diletakkan berjejer, dekat ke beranda. Salah satunya memuat tomat cherry kuning. Di belakang rumah, pot tanaman bertambah banyak. Mulai cabai sampai sosin. Pernah juga, ditanam padi di dalam pot. Hasilnya bagus.
“Semua ini ya pakai kompos sendiri. Komposisi dengan tanah, setengah-setengah,” kata Sobirin Supardiyono, pemilik rumah.
Ia mengaku bukan pecinta tanaman. “Ada tanaman itu, ya sebetulnya karena memanfaatkan kompos saja,” katanya. Pria berusia 66 tahun itu mulai mengolah sampah rumah tangga sejak Bandung dilanda tsunami sampah pada 2005. “Waktu itu Bandung sampai disebut kota terkotor. Nah, saya pikir kenapa enggak coba mengolah sampah rumah tangga,” ujarnya.Rata-rata keluarga menghasilkan sampah rumah tangga mulai dari 0,5 -2 kilogram per hari. Sebanyak 65% sampah tersebut merupakansampah basah, mulai dari daun kering sampai sisa makanan.
Lantaran itu, Sobirin fokus mengolah sampah organik. “Karena enggak tau ilmunya, setahun pertama saya gagal,” ujar mantan Kepala Pusat Litbang Sumber Daya Air Bandung ini.Kini Sobirin punya tujuh tempat pembuat kompos di rumahnya. Di halaman depan terdapat empat lubang pembuat kompos metode anaerob dan satu komposter metode aerob yang terbuat dari batu bata. Sisanya, dua komposter anaerob ada di halaman belakang. Mulut lubang itu sengaja dibeton, agar tidak longsor. Namun bagian dalam lubang tetap berdindingkan tanah telanjang.
Sobirin melangkah mendekati salah satu lubang lalu meminta asistennya – ia panggil Ndut – membuka tutup lubang yang terbuat dari beton tipis, berbentuk bujur sangkar dengan panjang sisi 60 cm. Terlihat tumpukan sampah daun, hampir mendekati mulut lubang berkedalaman 1 meter itu. “Nah, ada cecunguknya (kecoa). Bagus, bagus,” ujar Sobirin, lalu memerintahkan Ndut untuk mengambil cairan MOL (mikro-organisme lokal).
[catatan: cucunguk dan binatang kecil lainnya akan pergi/menghilang/mati oleh proses panas termofilik pengomposan].Resep manjur
MOL buatan Sobirin disimpan di dalam tong plastik berkapasitas 25 liter, juga diletakkan di halaman depan. Ia membuat MOL sendiri dari campuran 2 kilogram tapai singkong, 1 kilogram gula, dan 5 gelas air kelapa muda yang dilarutkan dalam 25 liter air. “Bisa juga tanpa air kelapa. Tapi lebih bagus menggunakan air kelapa, atau bisa diganti dengan air nira.” Cairan itu dibiarkan empat hari. Tutup tong plastik dilubangi kecil-kecil untuk jalur udara. Lalu di atasnya ditutupi lagi agar rapi [dan agar tidak kemasukan air hujan, asal udara tetap mengalir].
Ketika tong itu dibuka, tercium bau khas alkohol. Ndut tangkas mengambil penyendok besar, menciduk MOL dan menumpahkan ke dalam lubang perlahan. “MOL ini berfungsi menguraikan bahan kompos. Tinggal dicampur saja saat kita mengaduk bahan kompos tiga hari sekali. Hasil-nya, satu bulan saja kompos sudah bisa dipanen.
Tanpa MOL, sampah organik tetap bisa jadi kompos, tapi lama,” jelas pria yang kini aktif di Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) ini. Sobirin mendapat ilmu MOL dari seorang petani di Tasikmalaya, Jawa Barat. Menurutnya, MOL bisa juga dibuat dari sampah sisa makanan. “Campurannya ya jijiklah. Sekarang saya pakai peuyeum (tapai singkong) saja. Saya juga ada urine kelinci, tapi ya baunya menyengat sekali,” ujarnya sembari mendekat ke komposter aerob.
Komposter aerob milik Sobirin dibangun dari batu bata yang disemen. Sengaja, celah udara dibuat di dinding komposter setinggi satu meter. Pada bagian bawah, dibuat semacam gua untuk memanen kompos. Di atas, Sobirin menggunakan asbes sebagai penutup. Saat asbes disingkap Ndut, tak tercium bau busuk, sama halnya dengan komposter anaerob.
Sobirin meminta Ndut menambahkan bahan kompos. “Kalau yang aerob seperti ini, bahan kompos harus dicacah lebih dulu. Makanya saya sebetulnya enggak terlalu suka dengan metode ini (aerob). Kalau yang itu kan langsung dimasukkan saja,” kata Sobirin yang asli Magelang, Jawa Tengah, ini seraya menengok ke komposter anaerob.
Tak lama mencacah, Ndut lantas memasukkan irisan daun-daun kering berwarna cokelat, juga daun hijau. Perbandingannya, kira-kira 1:1. Daun yang telah cokelat memiliki unsur karbon dan daun hijau mengandung banyak nitrogen, bagus untuk kompos. Dia juga menambahkan MOL, lalu mengaduk bahan kompos yang baru agar bercampur sempurna dengan tumpukan lama. Seekor cacing terlihat di lapisan bawah, menggeliat [artinya kompos sudah jadi, memungkinkan cacing tanah hidup]. Ndut mengambil saringan, mengayak kompos agar tersisa yang halus saja untuk media tanam.
Zero waste
Berhasil dengan kompos, Sobirin seperti keranjingan menihilkan buangan limbah rumah tangga. Sampah plastik ia cuci bersih sebelum diserahkan kepada pemulung. Adapun sampah kertas, dihancurkan menjadi bubur dan disimpan di dalam tong plastik. Kelak, bisa dicampur dengan lem putih dan dikeringkan menjadi bahan dasar kerajinan tangan. Sifatnya seperti “clay” (tanah lempung).
Ia bilang, cuma butuh 30 menit sehari untuk memilah sampah. Hasilnya, sampah yang benar-benar menjadi urusan dinas kebersihan kota hanyalah sampah elektronika, misalnya batu baterai bekas. “Waktu yang dibutuhkan enggak lama, milih sampah juga enggak susah. Tapi yang penting, ada satu anggota keluarga yang diserahi tanggung jawab,” saran Sobirin.
Bukan cuma sampah yang digarap Sobirin. Begitu juga dengan air hujan. Di halaman belakang rumah Sobirin, toren (water storage) berkapasitas 1.000 liter (1 m3) siap memanen air hujan dari talang, diletakkan tak jauh dari kandang kelinci dan dua lubang komposter anaerob. “Sebetulnya sederhana saja kan, enggak ada yang aneh,” kata ahli geologi lingkungan ini.
Pengalaman mengelola sampah sendiri dituliskan Sobirin di blognya, www.informasi-budidaya.blogspot.com yang kini jarang diperbarui lagi. “Sekarang lebih aktif di facebook,” ujar kakek lima cucu, yang juga menulis di www.sobirin-xyz.blosgpot.com dan ini. Berkat internet, semakin banyak orang yang terinspirasi. (M-l)miweekend® mediaindonesia.com