CAPUNG MERAH HATI

Menurut ukurannya, serangga ini dibedakan menjadi tiga jenis. Capung berukuran besar, sedang, dan kecil. Dalam bahasa Jawa, capung disebut kinjeng. Untuk capung (kinjeng) yang berukuran besar disebut dhodhoerok dan yang berukuran sedang disebut teteiyik. Sedang yang berukuran kecil yang bentuknya memanjang sering disebut teteiyik dom (capung jarum). Ternyata dari masing-masing jenis berdasarkan ukurannya tadi, capung memiliki beberapa spesies. Utamanya pada kelompok capung besar.
Beberapa spesies capung besar dibedakan menurut warnanya. Capung yang nampak pada gambar adalah capung yang berwarna merah hati atau merah kecoklatan. Capung ini bisa hidup di daerah dataran rendah hingga di daerah yang berketinggian sekitar 3.000m di atas permukaan laut. Binatang pemangsa ini bisa hidup di sekitar lingkungan manusia; seperti permukiman penduduk, sawah, dan ladang. Di samping itu capung bisa juga hidup di alam liar seperti hutan, rawa, dan sebagainya. Capung ini oleh manusia tidak dianggap sebagai hama. Gambar capung ini sendiri diambil pada habitat capung di lahan pekarangan penduduk di daerah perbukitan kapur yang berketinggian sekitar 320m di atas permukaan laut.

Menurut Selys (1854) dalam Wikipedia bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas; klasifikasi ilmiah dari capung ini sebagai berikut: – Kerajaan: Animalia. – Filum: Arthropoda. – Kelas: Insecta. – Ordo: Odonata. – Upaordo: Epiprocta. – Infraordo: Anisoptera.

Sumber:
Wikipedia bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas–http://id.wikipedia.org/wiki/Capung.

TUMBUHAN BINTARO

Foto di samping adalah tumbuhan yang difungsikan sebagai tanaman peneduh, sekaligus sebagai tanaman hias di halaman tengah suatu sekolah. Bagi saya, tanaman ini asing dan sekaligus menarik perhatian. Apalagi begitu melihat buahnya yang hijau membulat. Lantaran penasaran, kemudian saya menanyakannya pada seorang teman yang kebetulan juga orang yang sengaja menanamnya. Menurut informasi teman saya, tanaman itu bernama bintaro. Kemudian teman itu mengatakan bahwa rasa dari buah bintaro itu pahit. Selebihnya tak ada informasi lain.Begitu mengetahui bahwa tanaman itu bernama bintaro, kemudian bayangan saya menerawang pada suatu tempat yang beberapa tahun silam pernah menjadi berita lantaran ada kecelakaan keretaapi. Bintaro yang semula saya kenal itu adalah nama suatu tempat di Jakarta. Ternyata bintaro juga merupakan nama tumbuhan. Mungkin tempat yang bernama Bintaro di Jakarta itu dulu banyak ditumbuhi (merupakan) tempat hidup tumbuhan bintaro. Berikut ini uraian tentang tumbuhan bintaro yang saya ambil dari Wikipedia bahasa Indonesia,ensiklopedia bebas:”Bintaro (Cerbera maghas) merupakan tumbuhan yang hidup di daerah pantai berawa dengan ketinggian bisa mencapai 12m. Tumbuhan ini tersebar di daerah tropis, termasuk di wilayah Pasifik seperti Samoa, Tongan, dan Fiji. Tumbuhan bergetah yang merupakan bagian dari ekosistem hutan mangrove ini memiliki daun berbentuk lonjong dan agak memanjang, berwarna hijau tua, tersusun berselingan. Bunganya berbau harum dengan mahkota berdiameter 3cm–5cm, berbentuk terompet dengan pangkal berwarna merah muda. Buah membulat seperti telur berwarna hijau ketika masih mentah dan berwarna merah cerah jika sudah masak. Daun dan buahnya sangat beracun. Tumbuhan bintaro ini di Indonesia dimanfaatkan sebagai tumbuhan penghijauan dan/atau reboisasi daerah pesisir, di samping juga sebagai tanaman peneduh di daerah perkotaan. Sumber:Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas (id.wikipedia.org/wiki/Bintaro)

RANDU (TUMBUHAN MERANGGAS II)

Randu juga merupakan tumbuhan yang meranggas atau menggugurkan daunnya begitu musim kemarau tiba. Uniknya pohon yang berkayu lunak ini, begitu daunnya habis justru bunganya mulai bermunculan. Munculnya bunga randu (juga untuk bunga dhadhap dan turi) sering dijadikan sebagai pertanda datangnya musim dingin (bhs. Jawa: mbedhidhing) oleh orang Jawa. Tentu musim dingin di Indonesia, khususnya di Jawa tidak sama (tidak sedingin) dengan musim dingin di daerah lintang sedang dan kutub.

Pohon randu sering juga disebut kapuk randu. Menurut Wikipedia bahasa Indonesia (Ensiklopedia Bebas) bahwa randu termasuk kerajaan: Plantae, divisi: Magnoliophyta, kelas: Magnoliopsida, Ordo: Malvales, famili: Malvaceae (Bombacaceae), genus: Ceiba, spesies: C. pentandra. Masih menurut Wikipedia bahasa Indonesia, bahwa tumbuhan ini berasal dari Amerika Selatan, Amerika Tengah, Karibia, Afrika bagian barat. Tumbuhan ini kemudian tersebar di Jawa, Malaysia, dan Philipina. Tinggi pohonnya bisa mencapai antara 60m–70m dengan diameter batang bisa mencapai 3m.

Menurut kelas-kelas vegetasi dalam biosfer, randu termasuk dalam biocycle daratan, biochore (bioma) hutan, khususnya hutan (tumbuhan) musim. Artinya, ketika musim kemarau tumbuhan ini akan menggugurkan daunnya untuk mengurangi penguapan melalui daunnya. Berdasarkan hal tersebut, pohon randu sering dikelompokkan pada kelompok vegetasi tropofit. Sedangkan berdasarkan klasifikasi tumbuhan berdasarkan kebutuhan airnya, pohon randu termasuk kelompok vegetasi mesofit. Perbanyakan tumbuhan ini bisa melalui biji atau stek batang.

Mengingat kayunya yang ringan, maka kayu randu ini tidak/kurang baik untuk bahan bangunan. Adapun manfaat tumbuhan randu dalam kehidupan sehari-hari: (1) Kayunya dapat digunakan untuk kotak/peti untuk mengemas buah-buahan, dan barang-barang lainnya. (2) Daunnya bisa untuk pakan ternak. (3) Buahnya yang masih sangat muda oleh sebagian orang Jawa digunakan untuk rujak. Sedang buah yang sudah tua dan kering berisi serat yang berwarna putih sampai putih kusam. Serat ini sering dipakai untuk bahan pengisi bantal dan kasur, serta untuk keperluan-keperluan sejenis. Di antara serat-serat tersebut terdapat biji randu yang berbentuk bulat kasar berwarna hitam. Biji ini pada masa lalu oleh sebagian orang Jawa digoreng tanpa minyak untuk penganan/camilan. Biji randu ini bila digoreng akan mengeluarkan minyak dalam jumlah kecil.

Sumber:
– Wikipedia bahasa Indonesia (Ensiklopedia Bebas)–http://id.wikipedia.org/wiki/Kapuk_randu
– Televisi Edukasi

KEDONDONG (TUMBUHAN MERANGGAS I)

Kedondong dalam bahasa Jawa disebut dondong. Menurut Wikipedia bahasa Indonesia bahwa kedondong termasuk suku mangga-manggaan (Anacardiaceae). Selanjutnya Wikipedia bahasa Indonesia menguraikan bahwa kedondong tergolong dalam kerajaan: Plantae, ordo: Sapindales, genus: Spondias, spesies: S. dulcis dengan nama binomial: Spondias dulcis. Tumbuhan ini dapat hidup di dataran rendah hingga di dataran berbukit yang berketinggian sekitar 400m. Tumbuhan ini tersebar di wilayah Oriental yang meliputi Indonesia, Thailand, Myanmar, Kamboja, dan Philipina.

Tumbuhan buah ini walaupun termasuk suku mangga-manggaan, namun ternyata tidak sama dalam menyikapi perubahan musim. Mangga tidak pernah menggugurkan daunnya ketika musim kemarau tiba, yang musim kemarau itu identik dengan berkurangnya curah hujan dan kandungan air dalam tanah. Hal seperti itu tidak berlaku pada kedondong. Begitu musim kemarau tiba, kedondong akan segera menggugurkan daunnya hingga meranggas dan tinggal batang, cabang, serta rantingnya. Biasanya tumbuhan kedondong di Indonesia akan segera meranggas pada sekitar akhir bulan April–Mei–Juni dan akan berangsur-angsur muncul kembali daunnya ketika bulan Juli. Berdasarkan hal tersebut, kedondong bersama-sama sengon merah (tekik), randu, jati, trembesi, dan pete termasuk tumbuhan meranggas ketika terjadi perubahan musim, yakni ketika musim kemarau.

Sebagai tanaman buah, kedondong sering dikonsumsi penduduk dalam berbagai bentuk. Dikonsumsi langsung sebagai layaknya buah atau dibuat rujak manis bersama buah-buah yang lain. Buah yang masih muda berwarna hijau dengan permukaan licin mengkilat. Rasanya masam (bahasa Jawa: kecut). Sedang buah yang sudah matang berwarna kuning, agak lembek, dan sedikit terasa manis. Sedang daunnya bisa dimanfaatkan untuk bumbu masakan, utamanya untuk bumbu pepes ikan.

Sumber:
Wikipedia bahasa Indonesia–http://id.wikipedia.org/wiki/Kedondong

BUNGA LIAR (1)

Bunga ini berbentuk seperti terompet, berwarna ungu cerah yang sangat menarik. Bunga tersebut mirip bunga tanaman ketela rambat dan kangkung. Tumbuhan ini menurut kelas vegetasi dalam biosfer termasuk dalam biocycle daratan, biochore hutan. Berdasarkan kebutuhan terhadap air, tumbuhan ini termasuk mesofit. Melihat cara hidupnya yang merambat pada tumbuhan lain atau suatu media tertentu, tumbuhan tersebut termasuk liana (tumbuhan pemanjat atau tumbuhan yang melilit). Tumbuhan ini mudah ditemukan di tempat yang berketinggian antara 200m sampai 300m. Tumbuhan ini bisa hidup di tempat terbuka maupun di tempat yang teduh. Tumbuhan ini banyak mengeluarkan bunga ketika awal sampai pertengahan musim kemarau.

Walaupun berbunga indah, namun tak ada orang yang berminat untuk memeliharanya. Apalagi membudidayakannya. Karena itulah “nuansa masel” menyebutnya sebagai bunga liar. Namanya pun “nuansa masel” tak mengetahuinya.

PUNGLOR (ANIS) MERAH

Kicaunya yang merdu meninggi dan panjang yang kemudian merendah, diimbangi gerakak kepala ke kanan–ke kiri, ke atas dan ke bawah membuat para penggemar berlomba-lomba untuk memilikinya. Gerakan kepala itu mereka sebut teler. Gerakan itu dianggap bak seorang pemabuk. Para penggemar burung kicauan rela merogoh kocek dalam-dalam demi burung ini. Semakin bagus dan semakin lama burung itu mampu bertahan berkicau, ditambah semakin teler gerakannya, maka semakin mahal harga burung itu. Apalagi kalau burung tersebut sudah pernah memperoleh gelar juara dalam suatu kontes burung kicauan, maka harganya akan melambung tidak masuk akal. Harga normal burung yang sudah pandai berkicau dan teler berkisar antara Rp 1.000.000,- sampai sekitar Rp 1.500.000,-. Seorang penggemar yang juga setengah pedagang beberapa hari yang lalu menjual dua ekor burung jenis ini seharga Rp 2.600.000,-. Suatu harga yang tinggi menurut ukuran penulis. Sedangkan untuk seekor anakan yang baru mulai bisa makan sendiri dengan umur sekitar satu bulan dihargai Rp 750.000,-.

Itulah tingginya gengsi burung yang oleh sebagian besar masyarakat Jawa Timur disebut punglor. Sedangkan di Jawa Barat dan beberapa tempat yang lain sering disebut sebagai anis. Gambar yang tertera di atas dinamai punglor (anis) merah karena bulu kepala dan bulu bagian depan berwarna kemerahan (tepatnya: coklat). Sedang bulu punggungnya didominasi warna hitam dan bulatan yang berwarna lebih hitam. Untuk bulu sayapnya berwarna hitam dengan sedikit warna putih pada tekukan sayap. Ada sebagian masyarakat yang menyebut punglor (anis) merah ini dengan punglor bata, karena warnar utamanya mirip warna bata (batu merah).

Sebenarnya ada beberapa varietas dari jenis burung punglor ini. Varietas lain tersebut di antaranya punglor jali. Punglor jali ini ada juga yang menyebut dengan anis kembang. Ada pula punglor macan, punglor kopi, punglor mandarin, dan punglor cendana. Punglor jali atau anis kembang, bagian kepalanya berwarna coklat tua, punggung hitam, dan bagian depan (dada) berwarna putih bertotol-totol hitam. Warna punglor macan hampir mirip dengan punglor jali atau anis kembang. Bedanya, bercak-bercak hitam pada dadanya lebih besar. Ukuran badannya pun lebih besar. Punglor kopi berwarna utama hitam dengan di beberapa tempat berbulu putih. Menurut penuturan, punglor kopi ini dulu banyak ditemukan di sekitar perkebunan kopi. Sedang untuk punglor mandari didominasi warna coklat. Adapun untuk punglor cendana, warna bulu utamanya adalah coklat cerah dengan beberapa variasi putih.

Daerah persebaran burung ini hampir merata di wilayah Indonesia bagian Barat dan Nusa Tenggara, mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, dan beberapa pulau di Nusa Tenggara. Di habitatnya, burung-burung tersebut hidup dan bersarang di pohon-pohon tinggi. Mereka memakan berbagai macam serangga dan ulat. Tidak jarang mereka pun turun ke permukaan tanah yang lembab atau becek untuk mencari cacing. Umumnya burung-burung tersebut bertelur antara dua sampai tiga butir. Saat ini, burung punglong yang hidup di alam liar semakin langka. Kicauannya di tengah rimba sudah jarang terdengar. Terlebih di pulau Jawa. Pemangsa tingkat kedua dalam rantai makanan ini kehidupannya semakin terancam oleh para pemburu, walau saat ini sudah ada pihak yang sudah berhasil menangkarkannya. Para pengangkar itu umumnya menangkarkan punglor merah dan punglor jali atau anis kembang yang secara ekonomis memang paling mahal harganya, di samping paling mudah mendapatkannya. Para penangkar punglor kabarnya berada di Bali, Solo, Malang, dan Jakarta. Semoga hasil tangkarannya ada yang dilepasliarkan di habitat aslinya sehingga keseimbangan ekosistem itu dapat terjaga.

PURING OSKAR

Puring (Codiaeum variegatum) merupakan tanaman hias yang banyak ditanam di pekarangan, taman, bahkan juga di lahan pemakaman. Sebagai tanaman hias, tumbuhan perdu ini mengandalkan keindahan warna dan bentuk daun. Berdasarkan variasi warna dan bentuk daun, serta ukuran batang inilah maka puring memiliki berbagai jenis nama. Ada puring kura-kura, puring apel, puring jet, puring telur, puring raja, puring lidah api, puring oskar, dan masih banyak lagi yang lain.

Menurut Wikipedia bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas (http://id.wikipedia.org/wiki/Puring) bahwa secara botani puring adalah kerabat jauh singkong serta kastuba. Kesamaan karakteristiknya adalah menghasilkan lateks berwarna putih pekat dan lengket pada batangnya. Ketiganya termasuk suku Euphorbiaceae. Ukuran tinggi batang puring ini berkisar dari beberapa sentimeter sampai setinggi 3m. Tumbuhan puring ini asli Indonesia dan kini telah tersebar di berbagai penjuru dunia.

Puring yang tertera pada gambar di atas sebenarnya ada dua macam. Bagian yang mendominasi gambar itu adalah puring Oskar dan bagian bawahnya adalah puring jari. Ciri khas dari puring Oskar di antaranya bentuk daunnya melebar pada bagian tengah yang kemudian melancip pada ujungnya. Ciri khas lainnya berupa warna daunnya. Warna daun mudanya merupakan perpaduan antara hijau dan kuning, sedang warna daun tuanya merupakan perpaduan antara ungu dengan merah muda. Gradasi warnanya sangat mengagumkan sehingga banyak orang yang terpesona.

Ketika booming tanaman hias yang puncaknya tahun 2007–2008, harga tanaman hias ini ikut menanjak. Tanaman yang semula tidak seberapa dilirik menjadi melambung harganya. Menurut tabloid Hobiku Tanaman Hias (edisi 62 Tahun VI, 3–16 Jan. 2008:10) menginformasikan bahwa puring Oskar setinggi 1,5m milik seorang penduduk Kabupaten Sleman Yogyakarta laku Rp 15.000.000,-. Bahkan, masih menurut tabloid tersebut, ada puring Kura-kura yang sudah ditawar sebesar Rp 20.000.000,-. Puring-puring itu sempat diekspor ke manca negara. Satu di antaranya menurut tabloid tersebut adalah ke Korea Selatan. Apa ya manfaat lain dari puring selain sebagai tanaman hias? Menurut “nuansa masel” puring berpotensi untuk dikembangkan barang ekonomis yang bisa menjadi produk komplementer bagi karet mengingat puring ini juga menghasilkan lateks. Siapa tahu?!

Sumber:

1. Ensiklopedia Bebas (http://id.wikipedia.org/wiki/Puring).

2. Tabloid Hobiku Tanaman Hias edisi 62 Tahun VI, 3–16 Jan. 2008. Harga Puring Oscar Tembus 8 Digit. Surabaya: Meteor Sinar Media.

BELALANG SEMBAH COKLAT

Serangga yang satu ini masih termasuk belalang sembah. Belalang sembah ini berwarna coklat dan ukurannya hanya sekitar sepertiga dari belalang sembah hijau. Di alam, kemungkinan jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding belalang sembah hijau. Seingat “nuansa masel” baru kali ini menemukan belalang sembah warna itu. Belalang itu ditemukan ketika memasuki rumah di daerah Kabupaten Malang.

Seperti halnya belalang sembah hijau, belalang sembah coklat ini juga merupakan belalang yang suka berulah dan tidak takut-takut menunjukkan perilakunya itu. Ketika didekati manusia tidak merasa terancam. Bahkan ulahnya semakin dibuat-buat. Boleh jadi keberaniannya itu lantaran dia termasuk serangga pemangsa, tidak seperti belalang lain yang hanya suka daun.

Maha Suci Allah dengan segala ciptaanNya. Maha Benar Allah yang dalam Al Qur’an menyampaikan bahwa sangat beraneka-ragam ciptaanNya. Antara yang satu dengan lainnya memiliki perbedaan. Kemudian Allah bertanya: “apakah kamu tidak memikirkannya?” Sebagaimana ciptaan Allah yang lain, belalang sembah coklat ini diciptakanNya dengan tidak sia-sia. Pasti ada manfaatnya. Salah satu manfaatnya adalah sebagai pemangsa serangga atau hama pertanian. Bahkan dalam Al Qur’an juga dijelaskan bahwa hanya bangkai ikan dan belalang yang diperbolehkan dimakan.

LABA-LABA “KEMLANDINGAN”

Kemlandingan merupakan bahasa Jawa untuk menyebut laba-laba yang berukuran besar, berkaki panjang berwarna hitam, dan kepala bagian atas putih. Sedang badan bagian bawah berwarna hitam dan bagian atas warnanya bervariasi antara hitam, kemudian punggungnya berwarna coklat bergaris-garis hitam. Bagian ujung badan yang berbatasan dengan kepala berwarna putih melingkar.

Binatang berbuku-buku yang satu ini ditemukan di satu perkebunan campuran dengan tanaman utamanya adalah kopi robusta milik penduduk Sidomulyo. Walaupun hidupnya di lahan perkebunan penduduk, laba-laba ini tidak mengganggu dan merugikan penduduk, khususnya petani kopi yang ada di tempat ini. Laba-laba ini justru secara tidak langsung membantu petani dengan memakan serangga-serangga di tempat itu. Nyamuk yang memang suka di tempat teduh dan lembah menjadi salah satu santapannya, di samping belalang, dan beberapa serangga lain.

POHON BENDO

Pohon bendo (dalam bahasa Jawa lebih tepat ditulis: bendha) merupakan pohon kayu bergetah yang masih bersaudara (lebih tepat disebut: marga) dengan nangka. Seperti halnya nangka, durian, dan sejenisnya, bendo ini merupakan pohon yang tingginya lebih dari 30m. Berdaun agak lebar, tebal, dan berkayu keras. Secara spesifik menurut Wikipedia bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas, pohon bendo memiliki klasifikasi Ilmiah sebagai berikut: “kerajaan: plantae, divisi: magnoliophyta, kelas: magnoliopsida, ordo: rosales, famili: moraceae, genus: artocarpus, spesies: A. elasticus dengan nama binomial: artocarpus elasticus.

Menurut sepengetahuan “nuansa masel”, pohon ini termasuk poho langka yang hidup liar secara tersebar di daerah berhutan di pulau Jawa, Sumatra, dan beberapa pulau lain di wilayah pembagian flora Indonesa Bagian Barat.

Belum banyak diketahui manfaat pohon ini bagi kehidupan manusia. “nuansa masel” hanya mengetahui kalau dari pohon bendo ini hanya diambil getahnya untuk perekat dalam menangkap burung. Getah diambil dari pohon tersebut dengan cara menoreh pada bagian kulitnya. Getah yang sudah terkumpul kemudian menggumpal dengan tekstur liat dan relatif elastis. Untuk menangkap burung, getah yang telah menggumpal itu dioleskan pada suatu dahan atau ranting pohon yang diperkirakan akan dihinggapi burung. Dan apabila ada burung yang hinggap, maka telapak kaki atau bahkan sayapnya terekat oleh gumpalan getah bendo tadi. Mungkinkah getah bendo ini bisa berfungsi layaknya getah karet? Sejauh ini kelihatannya belum ada pihak yang meneliti ke arah itu. Potensi bendo perlu digali. Siapa tahu getah tumbuhan ini bisa bermanfaat seperti karet. Kayunya sendiri kelihatannya juga jarang digunakan untuk bahan bangunan. Buahnya pun “nuansa masel” belum pernah melihatnya. Sedang menurut Wikipedia bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas bahwa buah bendo ini dapat dimakan dalam keadaan segar. Untuk bijinya dapat dimakan setelah terlebih dahulu direbus atau digoreng. Kulit biji bendo ini sangat keras. Masyarakat Malang selatan masih banyak yang memanfaatkan biji bendo ini sebagai makanan ringan. Caranya biji bendo tersebut digoreng tanpa minyak (disangrai), kemudian dibungkus dalam kertas atau plastik dan dijajakan di warung-warung.

Keterangan foto:
Dokumentasi pribadi dengan obyek “pohon bendo” yang dipotret di lembah besuk Sat, perbatasan Kabupaten Malang dengan Kabupaten Lumajang, 2010.

Sumber:
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas