Respon Fisiologis Tanaman Terhadap Peningkatan CO2

 Respon Fisiologis Tanaman Terhadap Peningkatan CO2




Karbondioksida (CO2) merupakan salah satu gas penting dalam pertumbuhan tanaman, namun juga merupakan salah satu gas rumah kaca yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan ini merupakan salah satu penyebab utama pemanasan global (global warming). Akibat dari pemanasan global, suhu bumi diperkirakan akan meningkat 3-5oC serta menyebabkan perubahan iklim yang drastis pada 50 – 100 tahun yang akan datang.

Peningkatan gas-gas rumah kaca saat ini berpengaruh besar terhadap sektor pertanian. Peningkatan kandungan CO2 udara akan memberikan efek baik positif maupun negatif terhadap metabolisme tanaman. Peningkatan CO2 diprediksi dapat menstimulasi produksi pangan dengan istilah ‘CO2 Fertilization’. Namun demikian, penelitian terhadap pengaruh peningkatan kandungan CO2 udara terhadap berbagai jenis tanaman menunjukkan efek yang beragam baik positif, negatif maupun tidak berpengaruh sama sekali terhadap kondisi tanaman.

Respon tanaman terhadap peningkatan gas CO2 di atmosfer berbeda-beda tergantung dari jenis tanaman serta kombinasi faktor-faktor pertumbuhan yang lain. Secara umum, hasil tanaman dipengaruhi oleh proses-proses penting seperti fotosintesis dan respirasi yang sangat tergantung dengan kondisi CO2 di udara. Perubahan terhadap kosentrasi CO2 udara akan berpengaruh terhadap proses-proses tersebut sebagai suatu bentuk adaptasi tanaman. Berbagai penelitian untuk menunjukkan bahwa respon terhadap peningkatan kosentrasi CO2 udara terjadi mulai dari perubahan anatomi hingga proses fisiologis tanaman.

Penelitian banyak dilakukan dengan menggunakan growth chamber yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga memungkinkan peneliti untuk mengatur berbagai faktor pertumbuhan serta kosentrasi CO2 yang diinginkan, maupun dengan percobaan Free-Air CO2 Enrichment (FACE). FACE merupakan sebuah metode untuk meneliti pengaruh peningkatan CO2 dalam skala penelitian lapangan dengan cara menambahkan kosentrasi CO2 di sebuah lahan pertanaman secara terkontrol. Percobaan tersebut memberikan suatu simulasi yang cukup baik terhadap pengaruh pertumbuhan tanaman dengan pertambahan CO2.

RESPON TANAMAN TERHADAP PENINGKATAN CO2

Peningkatan kosentrasi CO2 di atmosfer sudah terjadi sejak beberapa ratus tahun yang lalu, namun lajunya mengalami peningkatan yang sangat tinggi dalam beberapa dekade terakhir. Hal ini memicu terjadinya adaptasi tanaman terhadap perubahan karakteristik daun.
Sebuah pengamatan dengan menggunakan mikroskop elektron menunjukkan adanya penipisan pada dinding bundle seath cell pada tanaman yang ditanam pada kosentrasi CO2 700 μl l-1 dibandingkan dengan tanaman yang ditanam pada kosentrasi 350 μl l-1. Hal ini diakibatkan oleh penurunan jumlah suberin pada dinding sel dan menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas bundle seath cell terhadap CO2. Sedangkan peningkatan kosentrasi CO2 tidak menunjukkan perubahan nyata pada jumlah stomata serta panjang sel penjaga (Walting et al., 2000).

Luas daun kacang tanah meningkat ketika ditanam pada kandungan CO2 yang tinggi (800μmol) pada suhu 25/15oC dibandingkan dengan tanaman yang ditanam pada lingkungan dengan kandungan CO2 sebesar 400μmol, namun demikian kondisi tersebut tidak terjadi pada suhu yang lebih tinggi (Pilumwong et al., 2007).

Fotosintesis

Hasil tanaman sangat tergantung dari proses fotosintesis. Terjadi perbedaan respon fotosintesis antara jenis tanaman C3 dan C4 terhadap perubahan kosentrasi CO2 di udara. Beberapa tanaman mengalami perubahan biokimia sebagai tanggapan atas peningkatan CO2. Fotosintesis pada tanaman C3 mengalami peningkatan dengan bertambahnya kosentrasi CO2 di udara. Aktivitas Rubisco pada mesofil mengalami peningkatan yang cukup tinggi sebagai respon dari peningkatan CO2 udara. Beberapa penelitian menggunakan tanaman C3 (padi, gandum dan kedelai) menunjukkan adanya peningkatan total fotosintesis dan hasil pada kondisi elevated CO2 dibandingkan dengan ambient CO2.

Peningkatan kosentrasi CO2, menstimulasi peningkatan asimilasi CO2, pertumbuhan serta hasil tanaman C3 melalui penurunan aktivitas fotorespirasi serta peningkatan fiksasi CO2 oleh Rubisco. Cheng et al., (2000) menyebutkan bahwa tanaman bunga matahari yang ditumbuhkan pada kondisi elevated CO2 menunjukkan adanya peningkatan GPP (Gross Primary Product) yaitu total CO2 yang digunakan dalam fotosintesis, serta NPP (Nett Primary Product) yaitu GPP – respirasi. GPP dan NPP mengalami peningkatan hingga 43 hst dan kemudian mengalami penurunan seiring dengan penutupan kanopi, hal ini menunjukkan bahwa penambahan biomasa pada elevated CO2 berbeda tergantung pada fase pertumbuhannya. Root : Shoot ratio pada tanaman bunga matahari yang ditanam pada elevated CO2 lebih tinggi dibandingkan pada kondisi ambient CO2. Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi elevated CO2 tanaman lebih banyak mengalokasikan fotosintat ke daerah perakaran atau bagian bawah tanaman. Namun tidak demikian pada tanaman C4, dimana rubisco terletak pada bundle seath cell yang memiliki kosentrasi CO2 3 – 6 kali lipat dibandingkan dengan udara sekitarnya.

Watling et al., (2000), mengemukakan terjadi penurunan efektivitas fotosintesis pada tanaman C4 yang ditanam pada kondisi CO2 berlebih, namun demikian tidak terjadi perubahan pada titik kompensasi CO2, karena fotorespirasi tanaman C4 sangat rendah. Perlakuan dilakukan dengan menanan tanaman sorghum pada dua tingkat kosentrasi CO2 yaitu 350 dan 700 μl l -1. Tanaman C4 yang ditanam pada 700 μl l -1 CO2 mengalami penurunan aktivitas PEP karboksilase (Phospoenolpyruvat carboxylase) secara nyata dibandingkan dengan tanaman yang ditanam pada 350 μL/L. Jumlah PEP karboksilase menjadi lebih rendah diiringi dengan penurunan aktivitasnya, namun demikian tidak terjadi perubahan pada aktivitas Rubisco di bundle seath cell. Sedangkan Leakey et al (2006), dalam penelitiannya menunjukkan terjadi penurunan baik pada aktivitas PEP karboksilase juga rubisco pada tanaman jagung yang ditanam pada kosentrasi CO2 yang tinggi. Serta tidak terjadi peningkatan karbohirat pada tanaman jagung yang ditanam dalam kosentrasi CO2 yang tinggi.

Perbandingan antara CO2 eksternal dan CO2 internal yang menjadi lebih tinggi pada tanaman dalam kosentrasi CO2 yang tinggi. Tanaman sorghum yang ditumbuhkan pada kosentrasi CO2 tinggi mengalami penipisan dinding bundle seath cell. Perubahan anatomi ini semakin menguatkan terjadinya penurunan efisiensi fotosintesis pada tanaman tersebut, karena terjadi peningkatan konduktansi dinding bundle seath cell terhadap CO2. Kebocoran pada bundle seath cell antara 24-33 %. Kebocoran ini mengurangi efisiensi penggunaan cahaya oleh tanaman C4, karena CO2 yang bocor atau keluar dari bundle seath cell kemungkinan akan hilang atau terfiksasi kembali oleh PEP karboksilase, hal ini meningkatkan energi yang diperlukan untuk kembali memfiksasi CO2.

Tanaman yang ditumbuhkan pada kosentrasi CO2 tinggi mengalami penurunan aktivitas PEPC seiring dengan terjadinya penurunan jumlah PEP pada mesofil daun, hal ini menyebabkan penurunan fotosintesis, sebab level CO2 di bundle sath cell menurun untuk aktivitas dengan rubisco. Dalam penelitian ini diperoleh data bahwa PEP pada tanaman yang ditumbuhkan pada kondisi kosentrasi CO2 tinggi lebih rendah 51% dibanding tanaman dalam kondisi normal. Namun demikian tidak terjadi perubahan pada kandungan N daun serta klorofil total pada tanaman

Tingkat kosentrasi CO2 yang tinggi juga meningkatkan carbon isotop discrimination pada tanaman C4. CO2 internal yang meningkat pada bundle seath cell dan penurunan akivitas PEP ternyata juga meningkatkan carbon isotop discrimination pada rubisco. Peningkatan hasil pada tanaman C3 pada kondisi elevated CO2 adalah 10 – 50 % sedangkan untuk tanaman C4 hanya 0-10 % dari kondisi normal.

Posisi daun juga memberikan pengaruh terhadap fotosintesis pada kosentrasi CO2 udara yang tinggi. Penelitian oleh Herick dan Thomas (1999) menunjukkan adanya perbedaan respon posisi daun diatas dan dibagian bawah kanopi (sun dan shade leaves) terhadap fotosintesis pada tanaman Liquidambar styraciflua L. Penelitian tersebut dilakukan pada bulan Juni dimana suhu maksimum rata-ratanya 27oC, suhu minimum rata-ratanya 16oC dan hujan 9,86 cm serta bulan Agustus dengan suhu maksimum rata-rata 31oC dan minimum rata-rata 19oC dan hujan hanya 3,26 cm dengan metode FACE menggunakan kosentrasi 200 μl l -1 dan 560 μl l -1.

Kandungan N per satuan berat kering daun tidak mengalami perbedaan baik pada daun bagian atas maupun bagian bawah. Peningkatan fotosintesis ternyata lebih tinggi pada daun bagian atas dibandingkan dengan bagian bawah kanopi dengan peningkatan CO2 daun bagian atas memiliki 68 % berat kering per unit area, 63% N dan 27% klorofil yang lebih banyak dibandingkan dengan daun bagian bawah. Laju asimilasi bersih pada daun bagian atas lebih tinggi daripada bagian bawah pada peningkatan CO2 pada bulan Juni. Respon ini diperkirakan dipengaruhi oleh aktivitas Rubisco. Perbedaan ini kemungkinan diakibatkan oleh jumlah N per unit luas daun pada daun bagian atas lebih besar dibandingkan dengan daun bagian bawah. Percobaan ini menunjukkan bahwa daun bagian atas lebih banyak mengambil CO2 dibandingkan dengan daun bagian bawah. Pada bulan Juni pengambilan CO2 pada daun bagian atas sebanyak 79 % dan daun bagian bawah 49 %.

Respirasi

Ada asumsi bahwa peningkatan CO2 di atmosfer akan menurunkan pengambilan O2 oleh tanaman, namun demikian sebuah penelitian dengan enam ratus kali pengukuran pada sembilan jenis tanaman yang dilakukan di Illinois terhadap peningkatan kosentrasi CO2 dalam jangka waktu yang panjang menunjukkan tidak adanya penurunan pengambilan O2 respirasi tanaman (Davey et al., 2004). Penurunan konduktansi stomata yang terjadi pada kosentrasi elevated CO2 hanya merupakan adaptasi sementara namun tidak terjadi dalam jangka panjang. Selain itu pada beberapa penelitian tidak terjadi perubahan pada karakteristik stomata. Respirasi tidak mengalami perubahan pada kosentrasi CO2 yang ditingkatkan hingga dua kali lipat dari kondisi normal.

Peningkatan CO2 di lingkungan juga dapat diiringi dengan peningkatan suhu sebagai efek berantai dari keberadaan gas rumah kaca tersebut. Sehingga asumsi mengenai peningkatan CO2 dapat memicu peningkatan hasil harus dikaji melalui penelitian dengan mempertimbangkan berbagai faktor lain yang berubah. Penelitian yang dilakukan oleh (Pilumwong et al., 2007) pada tanaman kacang tanah menunjukkan bahwa peningkatan kandungan CO2 lingkungan dapat meningkatkan hasil secara signifikan pada suhu 25/15oC, sedangkan hal tersebut tidak terjadi pada suhu yang lebih tingi yaitu 35/25oC.

Referensi:

Cheng ,W. D.A, Sims., Y, Luo., James., Colemann dan D.W, Johnshon. 2000. Photosynthesis, respiration and net primary production of sunflower stands in ambient and elevated atmospheric CO2 concentration: an invariant NPP:GPP ratio?. Global Change Biology (6) : 931 – 941
Davey, P.A., S, Hunt., G.J, Hymus., E.H, Delucia., B.G, Drake., D.F, Karnosky dan S.P, Long. 2004. Respiratory oxygen uptake is not decreased by an instaneous elevation of CO2, but is increase with long-term growth in the field at elevated CO2. Plant Physiology (134) : 520 – 527
Herick, J.D dan R.B, Thomas. 1999. Effects of CO2 enrichment on the photosynthetic light response of sun and shade leaves of canopy sweetgum tree (Liquidambar styraciflua) in a forest ecosyntem. Tree Physiology (19) : 779 – 786
Leakey,A.D.B., M. Uribelarrea., E.A.A, Ainsworth., S.L, Naidu., A. Rogers., D.R, Ort and S.P, Long. 2006. Photosynthesis, productivity and yield of maize are not affected by open-air elevation of CO2 cocentration in the absence of drought. Plant Physiology (140) : 779 – 790
Pilumwong.J., C.Senthong., S.Srichuwong and K. T. Ingram. 2007. Effects of Temperature and Elevated CO2 on Shoot and Root Growth of Peanut (Arachis hypogaea L.) Grown in Controlled Environment Chambers. Science Asia 33 : 79-87.
Watling, J.R., M.C, Press dan W.P, Quick. 2000. Elevated CO2 induces biochemical and ultrastructural changes in leaves of the C4 cereal sorghum. Plant Physiology (123) : 1143-1152


Bagikan ke teman: