Makalah DIET PENDERITA GINJAL KRONIK (PGK)

 makalah




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Penyakit dengan gagal ginjal dapat meningkatkan risiko kematian bagi penderitanya. Gagal ginjal kronik merupakan masalah medik, sosial dan ekonomik yang sangat besar bagi pasien dan keluarganya, khususnya di negara-negara yang sedang berkembang (Raka, 2007). Indonesia merupakan negara berpenduduk terbesar ke-empat di dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Saat ini, tidak banyak penelitian epidemiologi tentang prevalensi infeksi saluran kemih pada penyakit ginjal kronik di Indonesia. Menurut Rahardjo dalam Raka (2007), diperkirakan jumlah penderita gagal ginjal kronik terus meningkat dan diperkirakan pertumbuhannya sekitar 10 % setiap tahun. Di kotamadya Medan, angka penderita gagal ginjal yang menjalani dialisa diperkirakan sebanyak 100 kali pada tahun 1982, menjadi 1100 pada tahun 1990.
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal akibat berbagai penyakit ginjal yang kronik, yang berkembang secara progresif dan irreversible. Gagal ginjal kronik dinyatakan apabila nilai tes klirens kreatinin (TKK) sama atau kurang dari 25 ml/menit (Prodjosudjadi dalam Harahap, 2010). Menurut Price dalam Harahap (2010) gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat, biasanya berlangsung beberapa tahun.
Selain itu, akibat penyakit yang menahun ini, menimbulkan gejala klinis yang merugikan pada keseluruhan sistem tubuh yang lain dan diantaranya adalah terkait penurunan fungsi imun tubuh. Sistem imunologi tubuh manusia berfungsi untuk mempertahankan tubuh dari serangan patogen (mikroorganisme penyebab penyakit seperti virus dan bakteri) dan kekurangan fungsi tersebut akibat kelainan pada proses metabolisme tubuh pada pasien penyakit ginjal kronik akan meningkatkan resiko terkenanya infeksi (Kato et al dalam Harahap, 2010). Keadaan PGK tentunya sangat mengkhawatirkan bila tidak di tangani, dalam hal ini di perlukan adanya ahli kesehatan yang menangani pengaturan masalah tersebut khususnya dalam hal pengaturan pola makan pada PGK.
Penelitian keadaan gizi pasien PGK dengan Tes Kliren Kreatinin (TKK) ≤ 25 ml/mt yang diberikan terapi konservatif, dijumpai 50 % dari 14 pasien dengan status gizi kurang. Faktor penyebab gizi kurang pada PGK antara lain adalah asupan makanan yang kurang sebagai akibat dari tidak nafsu makan, mual dan muntah. Untuk mencegah penurunan dan mempertahankan status gizi, perlu perhatian melalui monitoring dan evaluasi status kesehatan serta asupan makanan oleh tim kesehatan. Oleh karena itu di perlukan adanya penatalaksanaan diet pada pasien PGK yang betujuan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi agar mencapai status gizi optimal, pasien dapat beraktivitas normal, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, yang pada akhirnya mempunyai kualitas hidup yang cukup baik.

B. Tujuan
1. Mengetahui klasifikasi stadium pada ginjal kronik.
2. Mengetahui pengelolaan pada pasien yang terkena penyakit ginjal kronik.
3. Mengetahui jenis-jenis diet pada Penderita Ginjal Kronik (PGK)
4. Menentukan menu diet yang sesuai bagi penderita penyakit ginjal kronik (PGK) yang menjalani terapi konservatif


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Ginjal Kronik
1. Definisi, Batasan dan Klasifikasi Ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik merupakan suatu keadaan patologis dengan penyebab yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif dan kemudian berakhir pada gagal ginjal tahap akhir. Penyakit ginjal tahap akhir adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal kronik ireversibel yang sudah mencapai tahapan dimana penderita memerlukan terapi pengganti ginjal, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra dalam Harahap, 2010 ).
Menurut Prodjosudjadi dalam Harahap (2010) Gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG) yang bersifat tidak reversibel, dan terbagi dalam beberapa stadium sesuai dengan jumlah nefron yang masih berfungsi. Gagal Ginjal Kronik (GGK) dapat terjadi apabila laju filtrasi glomerulus kurang dari 50 ml/menit/1.73m2 luas permukaan tubuh, oleh karena dibawah kadar fungsi ginjal tersebut gangguan asidosis metabolik dan hiperparatiroidisme sekunder telah tampak nyata, pertumbuhan mulai terganggu, dan progresivitas penurunan fungsi ginjal akan terus berlanjut, seperti yang terlihat pada tabel 1.

Menurut Rindiastuti (2003) pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah, seperti terlihat pada tabel 2. klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal.

2. Diagnosis Penyakit Ginjal Kronik
Rindiastuti (2003) menyatakan Penyakit Ginjal Kronik (PGK) dapat dikategorikan menurut etiologi dan kelainan patologik seperti terlihat pada tabel 3. untuk memastikan diagnosa tidak jarang diperlukan biopsi ginjal yang sangat jarang menimbulkan komplikasi. Biopsi ginjal hanya dilakukan pada pasien tertentu yang diagnosis pastinya hanya dapat ditegakkan dengan biopsi ginjal yang akan mengubah pengobatan atau prognosis. Pada sebagian besar pasien, diagnosis ditegakkan berdasar pengkajian klinik yang lengkap dengan memperlihatkan faktor etiologi

Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran berikut:
1) Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2) Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
3) Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4) Menentukan strategi terapi rasional
5) Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar dalam Rindiastuti, 2003).

1) Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.
2) Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.
a. Pemeriksaan faal ginjal (LFG)
Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).
b. Etiologi gagal ginjal kronik (GGK)
Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis.
c. Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit
Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal (LFG).
3) Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya, yaitu:

a. Diagnosis etiologi GGK
Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos perut, ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU).
b. Diagnosis pemburuk faal ginjal
Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan ultrasonografi (USG).

3. Pengelolaan Penyakit Ginjal Kronik
Pengkajian klinik menentukan jenis penyakit ginjal, adanya penyakit penyerta, derajat penurunan fungsi ginjal, komplikasi akibat penurunan fungsi ginjal, faktor risiko untuk penurunan fungsi ginjal, dan faktor risiko untuk penyakit kardiovaskular. Pengelolaan meliputi:
a. terapi penyakit ginjal
b. pengobatan penyakit penyerta
c. penghambatan penurunan fungsi ginjal
d. pencegahan dan pengobatan penyakit kardiovaskular
e. pencegahan dan pengobatan komplikasi akibat penurunan fungsi ginjal
f. terapi pengganti ginjal dengan dialisis atau transplantasi jika timbul gejala dan tanda uremia
Stadium dini penyakit ginjal kronik dapat dideteksi dengan pemeriksaan laboratorium. Pengukuran kadar kreatinin serum dilanjutkan dengan penghitungan laju filtrasi glomerulus dapat mengidentifikasi pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal. Pemeriksaan ekskresi albumin dalam urin dapat mengidentifikasi pada sebagian pasien adanya kerusakan ginjal. Sebagian besar individu dengan stadium dini penyakit ginjal kronik terutama di negara berkembang tidak terdiagnosis. Deteksi dini kerusakan ginjal sangat penting untuk dapat memberikan pengobatan segera, sebelum terjadi kerusakan dan komplikasi lebih lanjut. Pemeriksaan skrinning pada individu asimtomatik yang menyandang faktor risiko dapat membantu deteksi dini penyakit ginjal kronik

B. Terapi Ginjal Kronik
Seperti yang sudah di jelaskan di atas salah satu pengelolaan untuk Ginjal Kronik adalah melalui terapi ginjal kronik,diantaranya:
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar dalam Rindiastuti, 2003).
a. Peranan diet
Untuk mencegah penurunan dan mempertahankan status gizi, perlu perhatian melalui monitoring dan evaluasi status kesehatan serta asupan makanan oleh tim kesehatan. Pada dasarnya pelayanan dari suatu tim terpadu yang terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi serta petugas kesehatan lain diperlukan agar terapi yang diperlukan kepada pasien optimal. Asuhan gizi (Nutrition Care) betujuan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi agar mencapai status gizi optimal, pasien dapat beraktivitas normal, menjaga keseimbangn cairan dan elektrolit, yang pada akhirnya mempunyai kualitas hidup yang cukup baik.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Pencegahan dan pengobatan asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.

f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.

3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra dalam Rindiastuti, 2003).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar dalam Rindiastuti, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo dalam Rindiastuti, 2003).

b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar dalam Rindiastuti, 2003).
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah
2) Kualitas hidup normal kembali
3) Masa hidup (survival rate) lebih lama
4) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

BAB III
STUDI KASUS

1. Identitas Responden
• Nama : H.R.S
• Umur : 62 tahun
• Berat Badan : 66 kg
• Tinggi Badan : 173 cm
• Jenis kelamin : laki-laki

2. Subjektivitas
Responden pada usia 20 tahunan sudah terkena asam urat dan pada usia 32 tahun terkena kencing batu dan pada saat ini mengalami keluhan yaitu tidak bisa buang air kecil dan sakit pinggang sebelah kanan, keluhan ini berlangsung selama 3 hari. 2 hari sebelumnya responden tidak bisa buang air besar, kemudian responden menggunakan dulcolax suppositoria selama 2 hari berturut-turut kemudian baru dapat buang air besar.
Keluarga membawa responden ke rumah sakit, karena responden susah buang air kecil walaupun dengan mengejan. Sesampainya di RS, responden dipasang kateter baru dapat buang air kecil dengan lancar, urin yang keluar berwarna agak merah kemudian yang keluar berwarna agak coklat seperti air teh. Keadaan umum responden setelah dirawat yaitu agak lemah, tungkai bawah lemas, tidak bertenaga, kulit keriput tidak elastis, oedema pretibial dan tonus otot kurang. Tekanan darah 160/90 mmHg, Nadi 82 kali/ menit, suhu badan 36,2 °C, sclera tampak pucat dan nafas berbau ammonia.

3. Objektivitas
Berdasarkan hasil pemeriksaan USG adalah sebagai berikut:
Ginjal : Tampak kedua ginjal mengecil dengan echodifferensiasi tidak jelas
( ginjal kanan 5,9 x 3,1 cm; ginjal kiri 5,8 x 2,5 cm )
4. Assessment
Diagnosa yang didapat pada responden adalah sebagai berikut:
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urin, retensi cairan dan natrium.
2. Gangguan pemenuhan ADL berhubungan dengan kelemahan fisik.
3. Perubahan membrane mukosa oral berhubungan dengan iritasi kimia.
4. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan aktivitas, gangguan status metabolik.

5. Pembahasan dan penatalaksanaan Diet
Pasien merupakan penderita penyakit ginjal kronik dimana sudah mencapai stadium empat. Anjuran terapi yang harus di jalani adalah terapi konservatif salahsatunya yaitu pasien harus menjalani diet untuk mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) :
1. Tujuan diet Penyakit Ginjal Kronik adalah untuk:
(1) Mencapai dan mempertahankan status gizi optimal dengan memperhitungkan sisa fungsi ginjal, agar tidak memberatkan kerja ginjal
(2) Mencegah dan menurunkan kadar ureum darah yang tinggi (uremia)
(3) Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit
(4) Mencegah dan mengurangi progresivitas gagal ginjal, dengan memperlambat turunnya laju filtrasi glomelurus

2. Jenis diet dan indikasi pemberian
Menurut Almatsier (2007) ada tiga jenis diet yang diberikan menurut berat badan (BB) pasien, yaitu:
(1) Diet protein rendah I : 30 g protein. Diberikan kepada pasien dengan berat badan 50 kg
(2) Diet protein rendah II : 35 g protein. Diberikan kepada pasien dengan berat badan 60 kg
(3) Diet protein rendah III : 40 g protein. Diberikan kepada pasien dengan berat badan 65 kg
Penatalaksanaan Diet pada pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) pre-dialisis stadium IV dengan TKK < 25 ml/mt pada dasarnya mencoba memperlambat penurunan fungsi ginjal lebih lanjut dengan cara mengurang beban kerja nephron dan menurunkan kadar ureum darah. Standar diet pada Penyakit Ginjal Kronik Pre Dialisis dengan terapi konservatif adalah sebagai berikut: 3. Syarat Dalam Menyusun Diet Energi 35 kkal/kg BB, dimana umur > 60 tahun cukup 30 kkal/kg BB, dengan ketentuan dan komposisi sebagai berikut:
• Karbohidrat sebagai sumber tenaga, 50-60 % dari total kalori
• Protein untuk pemeliharaan jaringan tubuh dan mengganti sel-sel yang rusak sebesar 0,6 g/kg BB. Apabila asupan energi tidak tercapai, protein dapat diberikan sampai dengan 0,75 g/kg BB. Protein diberikan lebih rendah dari kebutuhan normal, oleh karena itu diet ini biasa disebut Diet Rendah Protein. Pada waktu yang lalu, anjuran protein bernilai biologi tinggi/hewani hingga ≥ 60 %, akan tetapi pada saat ini anjuran cukup 50 %. Saat ini protein hewani dapat disubstitusi dengan protein nabati yang berasal dari olahan kedelai sebagai lauk pauk untuk variasi menu.
• Lemak untuk mencukupi kebutuhan energi diperlukan ± 30 % diutamakan lemak tidak jenuh.
• Kebutuhan cairan disesuaikan dengan jumlah pengeluaran urine sehari ditambah IWL ± 500 ml.
• Garam disesuaikan dengan ada tidaknya hipertensi serta penumpukan cairan dalam tubuh. Pembatasan garam berkisar 2,5-7,6 g/hari setara dengan 1000-3000 mg Na/hari.
• Kalium disesuaikan dengan kondisi ada tidaknya hiperkalemia 40-70 meq/hari
• Fosfor yang dianjurkan ≤ 10 mg/kg BB/hari
• Kalsium 1400-1600 mg/hari
4. Pengaturan makan dalam sehari
Pasien menjalani terapi konservatif diberikan menu Diet Sehari protein rendah III (40 g protein )

Menurut Kresnawan (2007) bahan makan yang di anjurkan untuk pasien Penyakit Ginjal Kronik stadium empat adalah:
a) Sumber Karbohidrat: nasi, bihun, mie, makaroni, jagung, roti, kwethiau, kentang, tepung-tepungan, madu, sirup, permen, dan gula.
b) Sumber Protein Hewani: telur, susu, daging, ikan, ayam.
c) Bahan makanan pengganti protein hewani hasil olahan kacang kedele yaitu tempe, tahu, susu kacang kedele, dapat dipakai sebagai pengganti protein hewani untuk pasien yang menyukai sebagai variasi menu atau untuk pasien vegetarian asalkan kebutuhan protein tetap diperhitungkan. Beberapa kebaikan dan kelemahan sumber protein nabati untuk pasien penyakit ginjal kronik akan dibahas.
d) Sumber Lemak: minyak kelapa, minyak jagung, minyak kedele, margarine rendah garam, mentega.
e) Sumber Vitamin dan Mineral
Semua sayur dan buah, kecuali jika pasien mengalami hipekalemi perlu menghindari buah dan sayur tinggi kalium dan perlu pengelolaan khusus yaitu dengan cara merendam sayur dan buah dalam air hangat selama 2 jam, setelah itu air rendaman dibuang, sayur/buah dicuci kembali dengan air yang mengalir dan untuk buah dapat dimasak menjadi stup buah/coktail buah
Sedangkan bahan makanan yang dihindari adalah hindari sayur dan buah tinggi kalium jika pasien mengalami hiperkalemi. Bahan makanan tinggi kalium diantaranya adalah bayam, gambas, daun singkong, leci, daun pepaya, kelapa muda, pisang, durian, dan nangka. Hindari/batasi makanan tinggi natrium jika pasien hipertensi, udema dan asites. Bahan makanan tinggi natrium diantaranya adalah garam, vetsin, penyedap rasa/kaldu kering, makanan yang diawetkan, dikalengkan dan diasinkan.
Jumlah dan jenis protein yang diberikan pada pasien PGK pre- dialisis dalam bentuk diet rendah protein sangat penting untuk diperhatikan karena protein berguna untuk mengganti jaringan yang rusak, membuat zat antibodi, enzim dan hormon, menjaga keseimbangan asam basa, air, elektrolit, serta menyumbang sejumlah energi tubuh. Protein dibuat dari 20 asam amino penyusun protein, 11 diantaranya dapat disintesis oleh tubuh, dan 9 sisanya disebut asam amino esensial yang diperoleh dari bahan makanan, yaitu Leusin, Isoleusin, Valin, Triptofan, Fenilalanin, Metionin, Treonin, Lisin dan Histidin. Dari asam amino, 8 diantaranya dibutuhkan oleh orang dewasa, sedangkan Histidin dibutuhkan oleh anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Bahan makanan yang mengandung semua asam amino disebut lengkap protein, seperti telur, daging, ikan, susu, unggas, keju. Oleh karena itu, protein hewani biasa disebut sebagai protein bernilai biologi tinggi. Bahan makanan nabati, misalnya beras dan kacang-kacangan, mengandung asam amino esensial yang terbatas atau tidak lengkap. Oleh karena itu, dikatakan mengandung protein bernilai biologi rendah (Kresnawan,2007).
Kedelai dan hasil olahannya, yaitu tempe, tahu dan susu kedelai, mengandung asam amino esensial walaupun ada 1 asam amino yang kurang, terbatas fungsinya hanya untuk pemeliharaan, tidak untuk pertumbuhan (Limiting Amino Acid) yaitu metionin. Demikian pula asam amino esensial lisin kurang pada beras dan triptopan kurang pada jagung, akan tetapi apabila bahan makanan yang mengandung asam amino terbatas dikonsumsi secara bersamaan dalam hidangan sehari-hari, dapat saling melengkapi kekurangan dalam asam amino esensial. Sebagai contoh, nasi yang terbatas lisin dimakan bersamaan dengan tempe yang terbatas pada metionin didapatkan campuran yang memungkinkan saling melengkapi dalam asam aminonya untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh (Kresnawan,2007).

BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
1. Penyakit ginjal kronik diklasifikasikan menjadi 5 stadium yaitu Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal.
2. Pengelolaan penyakit ginjal meliputi terapi penyakit ginjal, pengobatan penyakit penyerta, penghambatan penurunan fungsi ginjal, pencegahan dan pengobatan penyakit kardiovaskular, pencegahan dan pengobatan komplikasi akibat penurunan fungsi ginjal, terapi pengganti ginjal dengan dialisis atau transplantasi jika timbul gejala dan tanda uremia
3. Ada tiga jenis diet yang diberikan menurut berat badan (BB) pasien, yaitu diet protein rendah I : 30 gr protein , diet protein rendah II : 35 g protein, dan diet protein rendah III : 40 g protein.
4. Responden merupakan penderita ginjal kronik stadium empat sehingga terapi yang harus dijalani adalah terapi konservatif melalui pengaturan pola makan, pengaturan pola makan atau diet yang diberikan ialah diet protein rendah III (BB responden 66 kg) dengan tujuan memperlambat penurunan fungsi ginjal lebih lanjut dengan cara mengurangi beban kerja nephron dan menurunkan kadar ureum darah.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier,Sunita. 2007. Penuntun Diet Edisi Baru.PT Gramedia Pustaka Utama:Jakarta

Harahap, Yusuf S R. Gambaran Pengetahuan, Sikap Dan Tindakan Penderita Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis Di Rsup H Adam Malik Medan Terhadap Kebiasaan Minum. Http://Repository.Usu.Ac.Id/Bitstream/123456789/21439/7/Cover.Pdf. Diakses tanggal 25 maret 2011

Kresnawan ,Triyani.2007. Diet Rendah Protein Dan Penggunaan Protein Nabati Pada Penyakit Ginjal Kronik.Http://www.gizi.net/makalah/download/diet_rendah_protein nabati.pdf. Diakses tanggal 27 maret 2011

Raka,Widiana.2007. Distribusi Geografis Penyakit Ginjal Kronik Di Bali: Komparasi Formula Cockcroft-Gault Dan Formula Modification Of Diet In Renal Disease. Http://Ejournal.Unud.Ac.Id/Abstrak/2_Edited.Pdf. Diakses tanggal 25 maret 2011

Rindiastuti.Yuyun,2003. Deteksi Dini Dan Pencegahan Penyakit Gagal Ginjal Kronik.Http://yuyunrindi.files.wordpress.com/2008/05/deteksi-dini-dan-pencegahan-penyakit-gagal-ginjal-kronik.pdf. Diakses tanggal 27 maret 2011




Bagikan ke teman: