Sidat Kita
Sidat Kita |
A. Gas-gas terlarut
Secara umum, ikan sidat lebih tahan terhadap konsentrasi oksigen yang rendah jika dibandingkan dengan jenis ikan lainnya (misal: ikan mas, ikan tawes, ikan nilem). Pada kondisi “apnoea”, yaitu keadaan dimana otot-otot pernapasan dan alat pernapasan lainnya (insang, paru-paru) dalam kondisi istirahat, elver (benih sidat ) mampu bernapas selama 30 menit. Selama 30 menit tersebut, elver hanya menggunakan oksigen yang tersimpan dalam darahnya, tanpa mengambil oksige dari luar. Kemampuan ini merupakan bukti bahwa ikan sidat mampu hidup dalam kondisi hipoxia (kekerangan oksigen). Selain itu, sidat juga mampu bernapas melalui kulitnya, meskipun tidak menyumbang oksigen yang tinggi.
Sidat berukuran 100g mampu mengatur dan mengkompensasi oksigen yang rendah, tetapi tidak tahan terhadap konsentrasi karbondioksida yang tinggi (hypercapnia). Daya tahan yang tinggi terhadap hypoxia pada sidat ukuran 100g diduga mengurangi daya tahannya terhadap hypercapnia. Sedangkan pada sidat berukuran 100-300g, kemampun bertahan pada kondisi hypoxia juga diimbangi dengan kemampuan bertahan dalam kondisi hypercapnia. Konsentrasi C02 yang tinggi pada air tawar kemungkinan disebabkan oleh aktivitas metabolisme mikroba dan pertukaran gas di permukaan air.
Oksigen terlarut (DO) pada malam hari akan menurun secara tajam di perairan eutrofik. Hal ini disebabkan terhentinya proses fotosintesis oleh fitoplankton atau kematian massal alga pasca terjadinya “blooming”. Kombinasi antara temperatur air yang tinggi pada siang hari dengan oksigen terlarut yang rendah di malam hari dapat menyebabkan terjadinya kematian massal ikan sidat.
B. Kejenuhan gas
Kejenuhan gas yang terlalu tinggi (gas supersaturation) di perairan dapat mengakibatkan terjadinya penyakit gelembung gas (gas bubble disease). Perairan dengan kandungan gas super jenuh menyebabkan cairan dalam tubuh ikan mengalami hal yang sama, sehingga timbul gas (terutama N dan O2) dalam pembuluh darah dan jaringan tubuh dan menyebabkan “emboli”. Emboli akan mengganggu transportasi oksigen, ikan akan mengalami hypoxia dan kerusakan jaringan, akibat lebih jauh akan menyebabkan kematian massal. Kondisi gas super jenuh di perairan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
pemanasan air pada kolam budidaya atau danau, fotosintesis berlebihan, tekanan udara rendah (biasa terjadi jika akan ada badai atau angin puting beliung) produksi gas O2, N dan metana akibat adanya aktivitas bakteri pemanasan oleh matahari dalam waktu yang lama dan angin dalam kondisi tenang (misalnya pada musim kemarau di daerah pengunungan/lembah)
C. De-stratifikasi Suhu
Stratifikasi suhu biasa terjadi pada perairan eutrofik dimana proses fotosintesis menghasilkan osigen terlarut yang tinggi di zona epilimnion, tetapi menyebabkan kondisi anaerob pada zona hypolimnion. Pada perairan dangkal, stratifikasi suhu terjadi pada siang hari. Pada malam hari akan terjadi de-stratifikasi suhu yang diakibatkan kehilangan panas di permukaan air. Dalam kondisi de-stratifikasi, air pada zona hypolimnion yang miskin O2 akan bercampur dengan air di zona epilimnion yang kaya oksigen. Proses percampuran ini mengakibatkan terjadinya penurunan konsentrasi O2 yang tajam dan dapat menyebabkan kematian massal ikan.
D. Temperatur/Suhu
Ikan sidat mempunyai toleransi yang tinggi terhadap suhu, daya toleransi terhadap suhu juga akan meningkat sejalan dengan bertambahnya ukuran tubuh ikan. Glass eel (larva sidat) spesies Anguilla australis mampu hidup pada suhu 28°C, elver 30,5-38,1°C dan sidat dewasa 39,7°C. Ikan sidat tropis (A. bicolor, A. marmorata) kemungkinan besar mempunyai toleransi terhadap suhu yang lebih tinggi dari A. australis.
Mucus atau lendir yang terdapat pada kulit ikan sidat memiliki zat anti bakteri yang sangat kuat, salah satunya adalah antibacteri kelompok protease seperti cathepsins L dan B. Suhu yang tinggi (30°C) dan rendah (10°C) dapat meningkatkan sensitifitas ikan sidat terhadap bakteri cathepsin yang ditularkan melalui kulit. Kemampuan bertahan terhadap serangan bakteri dapat ditingkatkan melalui perlakuan suhu (thermal stress).
E. Salinitas (kadar garam dalam air)
Ikan sidat dalam beberapa stadia hidupnya akan melakukan adaptasi terhadap salinitas. Stadia glass eel (larva) lebih menyukai air laut dan bersifat osmoregulator kuat. Sedangkan elver (benih sidat) yang sudah mengalami pigmentasi penuh lebih menyukasi perairan tawar.
Salinitas media pemeliharaan juga mempengaruhi respon ikan sidat terhadap tekanan lingkungan. Glass eel A. anguilla yang dipelihara di air tawar dan mampu hidup 60 hari tanpa makan sedikitpun. Pada salinitas 10 dan 20 ppt, glass eel mampu berpuasa 37 dan 35 hari. Dengan demikian, salinitas mampu meningkatkan daya tahan glass eel terhadap kelangkaan makanan. Glass eel yang sedang ber-metamorfose ke stadia elver lebih tahan terhadap kelaparan jika berada di perairan tawar daripada periaran payau. Ketahanan terhadap kelaparan diduga berhubungan dengan kapasitas ikan sidat dalam melakukan proses osmoregulasi dan penurunan konsumsi energi untuk proses metabolisme.
F. Ammonia
Ammonia merupakan polutan yang masuk ke perairan melalui saluran limbah. Ammonia dalam keadaan tak ter-ionisasi NH3 lebih beracun bagi ikan. Daya toksik akan meningkat sebanding dengan peningkatan pH air. Konsentrasi NH3 pada pH yang sama akan meningkat sejalan dengan meningkatnya suhu. Selanjutanya, toksisitas NH3 akan meningkat jika kelarutan oksigen (DO) menurun. A. australis dan A. dieffenbachii mampu bertahan hidup pada perairan dengan kadar ammonia lebih dari 2mb/l.