budidaya udang ramah lingkungan

 Uncategorized




PENERAPAN BUDIDAYA UDANG RAMAH LINGKUNGAN

DAN BERKELANJUTAN MELALUI APLIKASI BAKTERI ANTAGONIS UNTUKBIOKONTROL VIBRIOSIS UDANG WINDU (Penaeus monodon Fabr.)
Fakhrudin Al Rozi
Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta
RINGKASAN
Udang windu (Penaeus monodon, Fabr.) merupakansalah satu komoditas asli Indonesia (nativespecies) yang sangat populer dan memiliki nilai tinggi dalamperdagangan internasional. Produksiudang windu Indonesia pada perkembangannya mengalami penurunan produksi yangdiantaranya disebabkan serangan bakteriudang menyala (luminescentvibriosis) oleh bakteri Vibrio. Penggunaan antibiotik dan bahan kimia tidak efektif karena bersifatresisten dan menjadi bumerang terhadap ekspor udang Indonesia. Upaya yang dapatdilakukan adalah penggunaan musuh alami hama penyakit dan patogen  seperti bakteri antagonis. Lactobacillus spp. dilaporkan efektif menghambat vibriosis, Pseudomonas fluorescens dapatmenghambat Vibrio anguilarum. Bacillus spp. dan Staphylococcusspp. yang berasal dari tambak mampu menekan bakteri Vibrio.
Pemanfaatanbakteri antagonis sebagai agen pengendalian hayati akan semakin penting darisegi ekosistem akuakultur, karena dapat mengurangi bahkan menghilangkanpenggunaan antibiotik sehingga tercipta sistem budidaya ramah lingkungan danmempersiapkan suatu sistem akuakultur organik yang akhir-akhir ini semakin kuatsehingga penggunaan bakteri antagonis pada budidaya udang windu dapat dijadikansebagai dasar budidaya udang organik di Indonesia. Kepedulian lingkungan, meningkatnya konsumsi ikan, danberkembangnya pasar makanan organik telah memunculkan keinginan untukmewujudkan akuakultur organik sehingga aplikasi bakteri antagonis dapatdijadikan sebagai dasar budidaya udang organik di Indonesia.
Pemenang lombaKompetisi Karya Tulis Mahasiswa (KKTM) bidang Lingkungan hidup Tingkat Nasional Tahun 2008 di Surabaya, 31Oktober – 2 November 2008
I. PENDAHULUAN
Udangwindu (Penaeus monodon, Fabr.) merupakan primadona komoditasperikanan yang sangat populer dan memiliki nilai tinggi dalam perdaganganinternasional. Usaha budidaya udang windu berkembang cepat karena selainmerupakan salah satu komoditas hasil perikanan yang potensial untuk ekspor,udang windu juga berperan dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat.Adanya kecenderungan perubahan pola konsumsi dunia dari daging ke produk ikan danudang juga semakin memperluas peluang pasar. Halini sesuai dengan kebijakan pembangunan perikanan yang mengupayakan peningkatanekspor tanpa menganggu peningkatan konsumsi ikan di dalam negeri.
Kegiatan budidaya udang windu secara nasional mencapaipuncaknya pada tahun 1991 dan setelah itu menurun drastis karena kegagalanpanen akibat penyakit dan merosotnya daya dukung lahan serta lingkungan. Pada kurung waktu 15 tahun terakhir,masalah lingkungan sering diperdebatkan sebagai biang kegagalan budidaya udang,yang disinyalir bermula dari menurunnya kualitas lingkungan air tambak.  Dalam sistem budidaya udang intensif,kontribusi pakan terhadap penurunan kualitas lingkungan air tambak tidak bisadipungkuri.  Berton-ton pakan sebagaibahan organik dimasukan kedalam petakan tambak dengan harapan dapat memproduksiudang secara maksimal (Anonim, 2004c). Padahal, praktek ini dapat menurunkan kualitas air tambak yang berdampakpada pertumbuhan mikroorganisme patogen dan hama, serta memberikan tekananterhadap kondisi fisiologi udang, yang pada akhirnya menurunkan kemampuan  lingkungan tambak. Semula kegagalan budidaya udang windu dijumpai padatambak udang intensif, namun akhir-akhir ini pada tambak tradisional jugabanyak mengalami kehancuran.
Permasalahan utama yang dihadapi petambak udangwindu adalah serangan penyakit bakteri udang menyala (luminescent vibriosis), karena udang yang terserang pada keadaangelap tampak bercahaya. Penyebab penyakit udang menyala tersebut adalah bakteri Vibrio yang menyebabkan wabah pada awal tahun 1990 hingga sekarang (Irianto,2003). Hal ini terjadi karena merosotnya mutu lingkungan budidaya yaitu mutuair sumber dari perairan di sekitarnya dan mutu lingkungan tambak sendiri(Atmosumarsono et al., 1995). Bakteri Vibrio melakukan serangan secaraganas dan cepat sehingga dapat menimbulkankematian total serta menyerang udang di pembenihan maupun pembesaran.Prayitno (1994) menyebutkan bahwa dari segi ekonomi, berjangkitnya wabah penyakit vibriosis ini melemahkan roda industriudang nasional.
Berbagai penelitian telah dilakukan untukmendapatkan suatu metode pencegahan dan penanggulangan penyakit udang windu,antara lain penggunaan obat-obatan dan antibiotik. Penggunaan antibiotik danbahan kimia tidak efektif lagi karena tidak memberikan hasil yang memuaskankarena pada dosis tertentu justru berdampak negatif dengan meningkatkan resistensibakteri-bakteri patogen terhadap konsentrasi antibiotik (Tjahjadi et al., 1994). Sejumlahisolat Vibrio berpendar yang diisolasi dari tempat pembenihan udang windudi Jawa Timur ternyata resisten terhadapberbagai macam antibiotik seperti spektinomisin, amoksisilin, kloramfeni­kol, eritromisin, kanamisin, tetrasiklin,ampisilin, streptomisin, dan rifampisin.Sementara di lain pihak antibiotik bersifat persisten di alam danbahkan menjadi bumerang terhadap ekspor udang Indonesia (Tompo et al., 2006).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan guna mempertahankan keberlanjutandaya dukung ekosistem tambak adalah melalui penggantian aplikasi bahan kimiadan obat-obatan melalui aplikasi musuh alami hama penyakit dan patogen. Programeksplorasi dan pengembangan musuh alami untuk pengendalian hama dan penyakitakan sangat efektif diterapkan dalam upaya pengendalian hama dan penyakitterpadu yaitu melalui aplikasi probiotik.Untuk mengembangkan probiotik yang dapat mengendalikan penyakit telah dilakukanstudi mengenai mikroorganisme yang mempunyai kemampuan menekan patogen. Salahsatu bentuk probiotik adalah konsorsia bakteri antagonis terhadap patogen udangyang efektif menekan populasi patogen dalam ekosistem tambak. Lactobacillus spp.dilaporkan efektif menghambat vibriosis (Jiravanichpaisal dan Chauychuwong,1997), Pseudomonas fluorescens dapat menghambat Vibrio anguilarum (Gramet al., 1999), Bacillus spp. dan Staphylococcus spp. yangberasal dari tambak mampu menekan bakteri Vibrio (Suprapto, 2005). Pemanfaatan bakteri antagonis sebagai agen pengendalianhayati akan semakin penting dari segi ekosistem akuakultur, karena dapat mengurangibahkan menghilangkan penggunaan antibiotik sehingga tercipta sistem budidayaramah lingkungan sekaligus menerapkan sistem keamanan hayati untukmengurangi risiko kontaminasi penyakit pada produksi budidaya udang.
II. TELAAH PUSTAKA
2.1 Bakteri Vibriosp.
Bakteri Vibriomerupakan genus yang dominan pada lingkungan air payau dan estuaria. Umumnya bakteriVibrio menyebabkan penyakit pada hewan perairan laut danpayau. Sejumlah spesies Vibrioyang dikenal sebagai patogen seperti V. alginolyticus, V.anguillarum, V. carchariae, V. cholerae, V. harveyii, V.ordalii dan V. vulnificus (Irianto, 2003). Menurut Egidius (1987)Vibrio sp.menyerang lebih dari 40 spesies ikandi 16 negara. Vibriosp. mempunyai sifat gram negatif, sel tunggal berbentuk batang pendek yangbengkok (koma) atau lurus, berukuran panjang (1,4 – 5,0) µm dan lebar (0,3 –1,3) µm, motil, dan mempunyai flagella polar (Gambar 1). Menurut  Pitogo et al., (1990), karakteristikspesies Vibrio berpendar (Tabel 1). Sifat biokimia Vibrio adalahoksidase positif, fermentatif terhadap glukosa dan sensisif terhadap uji O/129(Logan, 1994 cit. Gultom, 2003).
A. Vibrio harveyii (Anonim, 2000)
B. Bioluminescens (Machalek, 2004)
Gambar 1. Bakteri Vibrio harveyii dan Bioluminescens
Bakteri Vibriosp. adalah jenisbakteri yang dapat hidup pada salinitas yang relatif tinggi. MenurutRheinheiner (1985) cit. Herawati (1996), sebagian besar bakteri berpendar bersifat halofil yang tumbuhoptimal pada air laut bersalinitas 2040‰. BakteriVibrio berpendar termasuk bakteri anaerobicfakultatif, yaitu dapat hidupbaik dengan atau tanpa oksigen. Bakteri Vibrio tumbuh pada pH 4 9 dan tumbuh optimal pada pH 6,5 – 8,5 atau kondisi alkali dengan pH 9,0 (Baumann et al., 1984 cit. Herawati, 1996).
2.2 Penyakit Vibriosis UdangWindu
Genus Vibrio merupakanagen penyebab penyakit vibriosis yang menyerang hewan laut seperti ikan, udang,dan kerang-kerangan. Spesies Vibrio yang berpendar umumnya menyeranglarva udang dan penyakitnya disebut penyakit udang berpendar. Bakteri Vibrio menyerang larva udang secara sekunder yaitu padasaat dalam keadaan stress dan lemah,oleh karena itu sering dikatakan bahwa bakteri ini termasuk jenis opportunistic patogen. Gambar vibriosis pada tahap postlarva dankoloni Vibrio sp. dapat dilihat pada Gambar 2. Pemberian pakan yang tidak terkontrolmengakibatkan akumulasi limbah organik di dasar tambak sehingga menyebabkanterbentuknya lapisan anaerob yang menghasilkan H2S (Anderson etal., 1988 cit. Muliani, 2002). Akibat akumulasi H2Stersebut maka bakteri patogen oportunistik, jamur, parasit, dan virus mudahberkembang dan memungkinkan timbulnya penyakit pada udang (Tompo et al., 1993cit. Muliani, 2002).
A. Vibriosis postlarva udang windu
B. Koloni Vibrio sp. pada esophagus
Gambar 2. Udang Windu yang Terserang Vibriosis (Breed et al., 1948)
Ciri-ciriudang yang terserang vibriosis antara lain kondisi tubuh lemah, berenanglambat, nafsu makan hilang, badan mempunyai bercak merah-merah (reddiscoloration) pada pleopod dan abdominal serta pada malam hariterlihat menyala (Sunaryoto et al., 1987). Udang yang terkena vibriosisakan menunjukkan gejala nekrosis. Gambar 2 menunjukkan bagian kaki renang (pleopoda)dan kaki jalan (pereiopoda) menunjukkan melanisasi. Bagian mulut yangkehitaman adalah kolonisasi bakteri pada esophagus dan mulut.
2.3 Patogenesis Bakteri Vibrio pada Udang Windu
Tingkatkematian udang windu yang diinfeksi Vibrio harveyiidengan kepadatan 103cfu/ml berbeda berdasarkan umur. Pada stadia zoea I tingkat kematian udangsebesar 74%, stadia mysis I 73%, dan postlarva 1 (PL1) 69%, postlarva 2 (PL2)51,5% (Prayitno dan Latchford, 1995 cit. Muliani, 2002).Jiravanichpaisal et al., (1994) cit. Muliani (2002) melaporkanbahwa mortalitas udang windu dewasa yang diinjeksi Vibrio harveyii isolat B-2 dengan kepadatan 8,20 x 105 cfu/ekor sebesar 100%,dan udang yang diinfeksi dengan Vibrio harveyii isolat B-4dengan kepadatan 1,55 x 106 cfu/ekor sebesar 80%.
A. Udang tampak normal
B. Udang berpendar pada cahaya gelap
Gambar 3. Bioluminescens Udang Windu Vibriosis (Breed et al., 1948)
Tingkat patogenesis bakteri ditentukan oleh suatumekanisme dalam proses pertumbuhan. Menurut Greenberg (1999) cit. Muliani(2002) suatu mekanisme yang umum untuk mengontrol kepadatan populasi bakterigram negatif adalah dengan menghambat komunikasi antar sel. Kemampuankomunikasi satu sama lain terjadi setelah mencapai quorum sensing yangterjadi karena adanya suatu senyawa acylhomoserine lactone. Sifatvirulensi Vibrio harveyiiberkaitan eratdengan fenomena bioluminescense yang dikontrol oleh sistem quorum sensing.
2.4 ResistensiBakteri Vibrio terhadap Antibiotik
Penyakit udang yang disebabkan oleh bakteri Vibriosp. masih menjadi fokus perhatian utama dalam produksi budidaya udang.Penggunaan antibiotik dalam budidaya udang adalah mahal dan merugikaqn karenadapat memunculkan strain bakteri yang tahan terhadap antibiotik serta munculnyaresidu antibiotik dalam kultivan (Decamp dan Moriarty, 2006a). Antibiotik merupakan suatu senyawa kimiayang sebagian besar dihasilkan oleh mikroorganisme, karakteristiknya tidak sepertienzim, dan merupakan hasil dari metabolisme sekunder. Penggunaan antibiotik yangberlebih padatubuh manusia dapat menyebabkan resistensi sel mikroba terhadap antibiotik yang digunakan.Resistensi sel mikroba adalah suatu sifattidak terganggunya sel mikroba oleh antibiotik (Gan et.al., 1987 dalam Putraatmaja, 1997). Sejumlahisolat Vibrio berpendar yangdiisolasi dari hatcheri udang windu di Jawa Timur ternyata resisten terhadap berbagai macam antibiotik sepertispektinomisin, amoksisilin, kloramfeni­kol,eritromisin, kanamisin, tetrasiklin, ampisilin, streptomisin, dan rifampisin. Sementara di lain pihak antibiotikbersifat persisten di alam dan bahkan menjadi bumerang terhadap ekspor udangIndonesia (Tompo et al., 2006).
2.5 Bakteri Antagonis
Salah satu pengendalian bakteri patogen adalahmempertemukan dengan bakteri antagonisnya. Vershere etal. (2000) cit. Isnansetyo(2005) mengemukakan bahwa bakteri antagonis dalam perannya sebagai agenpengendalian hayati melalui mekanisme menghasilkan senyawa penghambat pertumbuhan patogen, kompetisi pemanfaatan senyawatertentu atau kompetisi tempat menempel,mempertinggi respon imun inang, meningkatkan kualitas air dan adanya interaksidengan fitoplankton. Bakteri antagonis yang digunakan sebagai agen pengendalianhayati dimasukkan dalam istilah probiotik. Menurut Gatesoupe (1999), probiotik merupakan mikrobia yangdiberikan dengan berbagaicara sehingga masuk dalam saluran pencernaan dengan tujuan mempertinggi derajat kesehatan inang.
Menurut Gomez-Gil et al. (2000) cit. Tepu, (2006),  pengendalian hayati adalah penggunaan musuh alamiah untuk mengurangi kerusakan yangditimbulkan oleh organisme yang berbahaya atau pengaturan populasi penyakitoleh musuh alamiahnya. Tjahjadi et al. (1994) menyatakan bahwa populasibakteri Vibrio harveyii di lingkungan pemeliharaan udang dapat ditekandengan cara mengintroduksikan bakteritertentu yang diisolasi dari perairan laut di sekitar tambak atau pembenihanudang. Tetraselmis suecica dilaporkan mampu menghambat Aeromonashydrophila, A. salmonidica, Serratia liquefaciens, Vibrio anguilarum, V.salmonisida, Yerisnia rockery (Austin et al., 1992), Lactobacillusspp. dilaporkan efektif menghambat vibriosis (Jiravanichpaisal dan Chauychuwong, 1997), Pseudomonas fluorescens dapatmenghambat Vibrio anguilarum (Gram et al., 1999), Bacillus spp.,dan Staphylococcus spp. yang berasal dari tambak mampu menekan bakteri Vibrio(Suprapto, 2005).
Bakteri Vibrio sp.NM 10 yang diisolasi dari Leiognathus nuchalis bersifat antagonis terhadap Pasteurella piscicida karena menghasilkan protein dengan berat molekul kuang dari 5 kDA. Protein tersebut diduga bacteriocinatau senyawa serupa bacteriocin (bacteriocin like substance)(Sugita et al., 1997 cit. Isnansetyo, 2005). Bacteriocin adalahsenyawa yang banyak dihasilkan oleh bakteri asam laktat (Ringo and Gatesoupe,1998). Kamei dan Isnansetyo (2003) menemukan Pseudomonas sp. AMSN mampumenghambat pertumbuhan Vibrio alginolyticus karena menghasilkan senyawa2,4 diacetylploroglucinol. Bacillus sp. NM 12 yang diisolasi dariintestine ikan Callionymus sp. mampu  menghambat Vibrio vulnificus RIMD2219009 dengan cara menghasilkan siderofor (Sugita et al., 1998). Siderofor merupakan protein spesifik pengikat ion Fe dengan beratmolekul rendah yang mampu melarutkan Fe yang mengendap. Mekanisme tersebutmerupakan kompetisi pemanfaatan senyawa tertentu oleh mikroorganisme.
2.5 Udang Windu
Udang windu (Penaeus monodon)merupakan udang komoditas asli daerah tropis yang telah berkembang menjadiindustri sejak awal dekade 1980-an. Nama windu dalam bahasa perdagangan adalah gianttiger prawn, black tiger prawn atau black tiger shrimp (Hadiwiyoto, 1993). Genus ini mudahsekali dibedakan dengan genus-genus dengan melihat rostrumnya yang rumus 7/3,artinya pada sisi atas tanduk terdapat 7 gigi sedang pada sisi bawah mempunyaigigi 3. Badannya bergaris tengah rata-rata 1,5-5 cm. Menurut Tricahyo (1992), udang windu termasuk keluarga Arthropoda, klasCrustacea, ordo Decapoda dan spesies Penaeusmonodon Fabr.

 

 

Gambar 4. Morfologi udang windu (Penaeus monodon)(Rachmatun dan Mujiman, 1989)
Keterangan gambar: 1. Cangkang kepala; 2. Cucuk kepala; 3. Mata; 4. Sungut kecil(antennules); 5. Kepet kepala (sisik sungut); 6. Sungut; 7. Alat-alat pembanturahang (maxilliped); 8. Kaki jalan (pereiopoda, 5 pasang); 9. Kaki renang(pleopoda , 5 pasang); 10. Ekor kipas (uropoda); 11. Ujung ekor (telson).
Daur hidup udang Penaeusmenurut Wyban dan Sweeney (1991) adalah udang betina bertelur – telur – naupli– protozoea – mysis – poslarva – juvenil – udang dewasa (gambar 5).
Gambar 5. Daur hidup udangPenaeus (Wyban dan Sweeney, 1991)
Stadiayang pertama adalah stadia nauplius yang terjadi setelah telur menetas. Larva masih memiliki cadangan makanan dalam tubuhberupa kuning telur (Sirajudin, 1997). Stadia zoea terdiri dari 3 substadiayang berlangsung selama 6 hari dan mengalami alih bentuk 3 kali. Stadia mysisdicirikan oleh bentuklarva yang mulai menyerupai udang dewasa. Pleopod dan telson mulai berkembang dan larva bergerak mundur (Tjahjadi, 1994). Selanjutnya stadiamysis mengalami alih bentuk menjadi postlarva. Selama 5 hari pertama stadiapostlarva, udang masih bersifatplanktonis, dan pada stadia postlarva-6 udangmulai merayap di dasar (Toro dan Soegiarto,1979 cit. Tjahjadi,1994).
IV. PEMBAHASAN
4.1 Manfaat Penggunaan Bakteri Antagonis
1.      Ramah Lingkungan
Pengendalian dan pengobatan penyakit akibat infeksibakteri sebagian besar bertumpu pada penggunaanantibiotik dan bahan-bahan kimia lainnya. Usaha-usaha tersebut padakenyataannya belum memberikan hasil yang memuaskan, kadang-kadang justrumenimbulkan dampak negatif antara lain meningkatkanresistensi bakteri-bakteri patogen terhadap konsentrasi antibiotik (Tjahjadiet al., 1994), karena bakterisangat mudah mengembangkan sistem ketahanan terhadap antibiotik yang kemudianmenjadi masalah utama di dunia akuakultur. Residu antibiotik dalam jaringantubuh udang juga mengakibatkan penolakan udang di pasar dunia.
Bergesernya paradigma konsumen udang menujukeamanan pangan dan kelestarian lingkungan mengharuskan pembudidaya udang untukmerevisi visi dan misinya agar budidaya tetap berlanjut. Salah satu alternatif sebagai upaya untuk menjamin kelangsungan produksi,mencegah dan menanggulangi penyakit vibriosis pada budidaya udang windu adalah melalui pendekatan  pengendalian hayati. Pendekatan  pengendalian hayati dilakukan melaluipenggunaan probiotik dengan menggunakanaktivitas mikroorganisme yang dapat menekan atau mendegradasi substratpengganggu bagi organisme yang dibudidayakan tanpa menimbulkan dampak burukterhadap sistem keseimbangan ekologis mikrobia, ramah lingkungan, serta tidakmeninggalkan residu (food security dan food safety). Pengendalianhayati dalam akuakultur dengan menggunakan probiotik antagonis salah satu carapenanggulangan penyakit yang perlu dikembangkan untuk menciptakan sistemakuakultur yang ramah lingkungan. Pengendalian hayati ini dapat diterapkan padaberbagai tahapan akuakultur dan pada berbagai komoditas perikanan sertaterhadap berbagai patogen.
2.      Mengurangi Penggunaan Antibiotik
Pengendaliandan pengobatan penyakit akibat infeksi Vibrio harveyi sebagian besar bertumpupada penggunaan antibiotik dan bahan-bahan kimia lainnya. Usaha-usaha tersebut pada kenyataannya belum memberikanhasil yang memuaskan, kadang-kadang justru menimbulkan dampak negatifantara lain meningkatkan resistensibakteri-bakteri patogen terhadap konsentrasi antibiotik. Antibiotik pada budidaya udangdigunakan untuk pengobatan serta profilaksis (pencegahan). Profilaksisdilakukan dengan pengunaan antibiotik pada dosis rendah dalam jangka panjang.Pada kenyataannya, usaha semacam ini tidak menekan penyakit, tetapi bahkanmenjadi pemicu resistensi patogen terhadap antibiotik.
Udang sebagai komoditas mewah perlumendapatkan perhatian khusus dalam hal ini, karena devisa yang didapat dariudang cukup besar yaitu diperkirakan sekitar 630 juta dolar dan tertinggidibanding pendapatan dari spesies budidaya yang lain (Dahuri, 2004). Alasankedua adalah pasar ekspor udang sudah jelas. Akhir-akhirini ekspor udang terhambat oleh ecolabelling, petisi anti dumping danisu antibiotik. Sehingga harga udang jatuh pada akhir tahun 2003 (Suryadarma,2004). Peristiwa ini cukup beralasan karena timbulnya kesadaran dari masyarakatterhadap kesehatan dan lingkungan. Selanjutnya muncul kampanye di negara majuuntuk tidak makan udang tropis dengan alasan lingkungan. Menurut Isnansetyo (2005), pemanfaatan bakteri antagonis sebagai agen  pengendalian hayati akan semakin pentingkarena dengan penggunaan bakteriantagonis dapat mengurangi dan bahkan menghilangkan penggunaan antibiotik sehingga tercipta sistembudidaya yang ramah lingkungan.
3.      Aplikasi  keamanan hayati dalam Industri Budidaya Udang
Aplikasi  keamanan hayati dimaksudkan sebagai upaya pengaturan agar tambak tidakterinfeksi/terkontaminasi penyakit serta mengupayakan agar tambak tidak menjadisumber penularan penyakit bagi tambak lainnya (Haris, 2007). Lebih lanjut Fegandan Clifford (2001) menambahkan bahwa aplikasi prinsip-prinsip  keamanan hayati pada tambak udang telah terbukti efektif membantu mengurangirisiko kerugian karena penyakit dan dapat meningkatkan produksi. Haris (2007)menambahkan bahwa salah satu penerapan  keamanan hayati pada praktik manajemen produksi budidaya adalah dengan aplikasiteknologi probiotik yang ramah lingkungan. Metode ini diyakini menjadi solusiterkini yang paling efektif mencegah risiko kerugian akibat penyakit.
Konsep aplikasi  keamanan hayati dalam budidaya udang diutamakan adalah pengendalian benihudang (karantina vertikal) dan lingkungan (karantina horizontal) bebas dari patogen.Sistem ini dipraktikkan dengan penebaran benih udang bebas patogen, SPF (specificpathogen free) kedalam tambak yang sumber airnya dikontrol dengan baik(Lightner, 2003). Aplikasi bakteri antagonis dapat digunakan sebagai alternatifprofilaksis yang tepat terhadap penggunaan bahan kimia, termasuk antibiotik dnabiosida. Bakteri antagonis dapat berkompetisi dengan bakteri patogen dalamperebutan nutrisi makanan sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteripatogen.
4.2. Pengembangan Bakteri Antagonis
Menurut Per­aturanMenteri Pertanian No. 411 tahun 1995,pengendalian hayati adalah setiaporganisme yang meliputi spesies, subspesies, varietas, semua jenisserangga, nematoda, protozoa, cendawan (fungi),bakteri, virus, mikoplasma, serta organismelainnya dalam semua tahap perkembangannyayang dapat diper­gunakan untuk keperluan pengendalian hama dan penyakit atau organisme pengganggu, proses produksi, peng­olahan hasil pertanian, dan berbagai keperluanlainnya. Tahapan pengembangan bakteri antagonis sebagai agen pengendalian hayatidapat dilakukan melalui:
1.     Seleksi Bakteri Antagonis
Seleksi dilakukan dengan mengisolasi calon agen pengendalihayati dari populasi alaminya, seperti kelompok mikroba saprofit atau nonpatogen, ataumutan yang tidak patogen. Pada tahap seleksiawal ini, informasi tentangkeefektifan dan identitas calon agenpengendali hayati perlu dikua­saidengan baik agar pengembangannya dimasa datang tidak menjadi masalah. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol telah melakukan penelitian tentangpengendalian Vibrio Harveyii secara biologis pada larva udang windu dan diperoleh dua isolat bakteri penghambat yaituGSB-95030 dan GSB-95033 (Roza et al.,1998). Berdasarkan uji biokimia dan karakteristik biologis (lampiran 1), isolatGSB-95030 diidentifikasi sebagai Vibrio alginolyticus sedangkan isolat GSB-95033 diidentifikasi sebagai Flavobacterium meningosepticum.
Suatu strain dalam satu spesies dapat dijadikansebagai agen pengendalian hayati tetapi strain yang lain dalam spesies tersebutmungkin tidak mempunyai kemampuan sebagai pengendali hayati terhadap patogenyang sama. Selain itu suatu strain dari suatu spesies mungkin dapat bersifatpatogen tetapi strain lain dari spesies tersebut dapat digunakan sebagaipengendali hayati. Sebagai contohnya Vibrio alginolyticus. Strain dari bakteri Vibrio tersebut dapatdigunakan sebagai agen pengendali hayati dalam budidaya salmon (S. salam),udang windu (Penaeus monodon) dan udang vannamei (Litopneaeusvannamei), walaupun strain lain dari Vibrio alginolyticus jugadiketahui sebagai patogen.
2.   Uji Efektivitas Bakteri Antagonis
Tahapkedua adalah menguji keefektifan agenpengendali hayati dalam kondisi terbatas dan homogen, misalnya dalam cawan petri in vitro, terhadap patogentarget. Apabila suatu agen pengendali hayati menunjukkan penekanan terhadap patogen target, yang ditun­jukkan dengan terbentuknya zona hambatanmaka dilakukan tahap pengujianterbatas dalam kondisi terkontrol. Penelitian tentang uji sensitivitas bakteriantagonis telah dilakukan oleh Roza et al., (1999) terhadap isolat GSB-95030 danGSB-95033. Metode yang digunakan berupa sensitivity discagar (SDA) (Gambar 7).
Isolat GSB-95030 dan GSB-95033
6 botol (15 ml) pepton broth 1 % NaCl
3 botol GSB-95030      3 botol GSB-95033
 

 

Inkubasi 24, 72 dan 144 jam
Sentrifus 15 menit 3000 rpm
 

 

Ambil supernatan 5 ml
Kultur Vibrioharveyi kedalam petri 20 mL yang berisi media Sensitivity Disk Agar (SDA) secara merata
Rendam kertas sensitivitydisk selama 1 menitdalam supernatan yang telah diencerkan
Letakkan kertas sensitivity disk pada tengah pelat agar
(kontrol kertas sensitivity disk tanpa direndam)
 

 

Inkubasi 24 jam 25 °C
Amati zona hambatnya
Gambar 7. Diagram alir pengujian sensitivitas bakteri penghambatterhadap pertumbuhan Vibrio harveyii
Berdasarkan hasil penelitian Roza et al. (1999) diketahui bahwa kedua isolatbakteri penghambat GSB-95030 dan GSB-95033 tersebut mempunyai aktivitas dalam menekan perkembangan VibrioHarveyii. Hal ini terlihat dengan adanyazona hambat di sekeliling kertas sensitivity disk yang bebas dari Vibrio Harveyii (Tabel 1), sedangkan dalam aplikasi pemanfaatan bakteri penghambat GSB-95030 dan GSB-95033 dalam pemeliharaan larva udang dapat menekanperkembangan Vibrio harveyii dengan skala pemeliharaan yang lebih besar.
Hasil aplikasipemanfaatan bakteri penghambat dalam pemeliharaanlarva udang dapat dilihat pada (Tabel 2). Isolat-isolat bakteri penghambat GSB-95030 dan GSB-95033tersebut mampu menghambat pertumbuhan bakteriVibrio harveyii dalam air pemeliharaan larva udang windu sampaikepadatan yang jauh lebih rendah yakni5,3 x 102 cfu/mldengan sintasan 67,8% dan 9,9 x 102 cfu/mldengan sintasan 63,5%, dibandingkandengan kontrol 8,7 x 104 cfu/ml dengan sintasan lebih rendah 18,1%.
Tabel 1. Sensitivitas V.Harveyii terhadap isolat GSB-95030 dan GSB-95033 dengan 24, 72, dan 144 jammasa inkubasi
Isolat
Zona (cm) yang bebas Vibrio harveyii
24 jam
72 jam
144 jam
GSB-95030
0.60
0.71
0.80
GSB-95033
0.90
0.98
1.02
Kontrol
0.00
0.00
0.00
Sumber: Roza et al.,1999
Apa­bila pada tahap ini kemampuan agenpengendali hayati masih konsisten dalam menekan perkembangan patogen target maka perlu dilanjutkan dengan tahap uji lapang dalam skala terbatas. Pada pengujian lapang,biasanya agen pengendali hayati harus diformulasikansecara lebih baik. Dalam prosespembuatan formula, semua bahan yangdigunakan harus dipastikan tidak akanmenimbulkan kerusakan pada target, mikroba bukan sasaran, dan lingkungan. Bila pada tahap lanjutan ini puncalon agen pengendali hayati masihmenunjukkan potensi penekanan yangstabil maka pengujian dalam skala lebih luas dapat dilaksanakan.
Tabel 2. Hasil aplikasipemanfaatan bakteri antagonis
Isolat
Percobaan 1
Percobaan 2
Vibrio Harveyii
Sintasan larva
Vibrio Harveyii
Sintasan larva
Awal
Akhir
Awal
Akhir
GSB-95030
6,7
2,9a
63,5a
6,6
3,1a
59,2a
GSB-95033
6,7
2,7a
67,8a
6,6
3,0a
68,3a
Kontrol  
6,7
5,0b
18,1b
6,6
4,9b
21,6b
Nilaidalam kolom diikuti dengan huruf superskrip yang sama tidak berbeda nyata (P>0,05)
Sumber (Roza et al., 1999)
3.     Komersialisasi
Tahap terakhir adalahkomersialisasi agen pengendali hayati. Pada tahap ini diperlukan peran industri untuk memperbanyakagenpengendali hayati secara massal dan memfor­mulasikannya dalam bentuk yanglebih stabil dan terstandar. Padatahap akhir inilah data tentang analisisrisiko dari suatu agen pengendalihayati harus dilengkapi untuk memperoleh izin penggunaannya. Beberapaagens hayati berpeluang dapat menyebabkankerusakan pada lingkungan atau mempunyai hubungan yang erat dengan patogen yang menyebabkan penyakit pada manusia, hewan, dan tanaman. Kajian khusus untuk mengelaborasi peluang tersebut perlu dilakukan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan akibat penggunaan suatu agens hayati. Berdasarkan pedoman yang disusun oleh FAO (1988 dan 1997) tentang agen hayati untuk tujuan komersial, setiap pengajuan harus dilengkapi dengan informasi mengenai kejelasan identitasdari bahan aktif, karakteristik biologi, data toksisitas, dan data residu sertatoksisitas bagi lingkungan.
4.3 Aplikasi BakteriAntagonis
Aplikasi pengendalian hayati ini dapat dicobakanmulai dari penyediaan pakan alami yaitu fitoplankon (S. Costatum) danzooplankon (Brachionus dan Artemia) pada pemeliharaan larva, postlarva, maupun benih. Inveksi patogen khususnya pada stadium larva dan postlarva sangat tinggi karena sejak kecil udang terpapar dalam air yang banyakmengandung mikroorganisme. Aplikasi bakteri antagonis dapat diterapkan dalampembuatan pakan obat yaitu dengan menambahkan probiotik dari bakteri antagonis.Pakan tersebut diharapkan dapat membantu menciptakan mekanisme pertahanan tubuhudang, sehingga udang tidak mudah terserang vibriosis. Suprapto (2005)menggunakan formulasi pakan obat dengan metode pembuatan sebagai berikut:Probiotik antagonis Bacillus sp. dengan kepadatan 12,5×103sel/ml dicampurkan ke dalam pakan. Pencampuran bakteri pada pakan dilakukandengan cara menumbuhkan bakteri selama 48 jam pada TSA pada suhu 250Cdengan 1% NaCl (w/v). Sel bakteri kemudian di panen dengan sentrifugasi 10.000xgselama 15 menit. Sel dimasukkan kedalam 100 ml physiological saline (0,85%NaCl) sebanyak 2,5×105 sel/ml dan dicampur dengan jumlah yang samadengan minyak ikan. Emulsi dicampurkan kedalam 1 kg pakan dengan cara mengadukselama 30 menit untuk mendapatkan dosis eqivalen 25×103 sel/g padapakan dengan jumlah kandungan minyak ikan sebanyak 10% (w/v).
Penciptaan lingkunganpemeliharaan larva udang windu yang betul-betul bebas bakteri Vibrio sulitdilakukan karena bakteri tersebut dapat masuk melalui berbagai sumber, antara lainair laut, induk udang, dan makanan alami. Bakteri Vibrio harveyiitidak perlu dikendalikan sampai habis, tetapi hanya perlu dikendalikanpopulasinya pada batas aman, yaitu kurang dari l04 sel/ml. Inokulasi secaralangsung dilakukan melalui pemberian bakteri antagonis kedalam bak pemeliharaandengandosis 106 cfu/ml setelah dilakukan pergantian air (Susanto et al., 2005). Aplikasi bakteri antagonis dapatdilakukan melalui beberapa cara, yaitu jangka pendek (short duration), panjang (prolongedtreatment),dan tidak terbatas (indefinite treatment).
4.4 Nilai Ekonomis Udang Hasil Budidaya
Prospek pengembangan udang windu sebagai komoditas asli Indonesia mempunyaipeluang bisnis yang cerah. Hal ini terbukti dengan semakin meningkatnya luaslahan budidaya tambak udang Indonesia sampai tahun 2002 mencapai 913.000 hadengan pemanfaatannya baru mencapai 411.230 ha (45,43%). Pemerintah mentargetkanproduksi udang windu budidaya tahun 2007-2009, masing-masing sebesar 126.228ton; 146.615 ton; dan 162.355 ton (DKP, 2006 cit. Kordi 2007) dengan targetperolehan devisa sebesar US $ 8 milyar/th.
Menurut Dahuri (2004), potensi lestari perikanan tangkap dilaut bernilairata-rata 6,4 jt ton/th, sedangkan jumlah tangkap yang diperbolehkan hanya sebesar80%-nya saja (sekitar 5,12 jt ton/th). Untuk dapat memenuhi kebutuhan pasarandunia, Indonesia akan mengintensifkan lahan air payau untuk budidaya udang. Saatini ditaksir luas lahan budidaya udang Indonesia mencapai 1.000.000 ha sehinggalangkah awal yang ditempuh, apabila 500.000 ha dapat diusahakan sebagai tambakudang windu organik dengan rata-rata produksi sebesar 2 ton/ha/th, makaproduksi udang nasional sebesar 1.000.000 ton/th dengan nilai ekspor 1.000.000ton/th × US $ 8 /kg = US $ 8 milyar/th dapat dicapai.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
  1. Pengendalian hayati pada budidaya udang windu merupakan salah satu cara penanggulangan penyakit yang perlu dikembangkan untuk menciptakan sistem akuakulur yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, serta dapat mengurangi penggunaan antibiotik
  2. Pengembangan bakteri antagonis sebagai langkah  keamanan  hayati dilakukan melalui tahap seleksi bakteri antagonis nonpatogen, pengujian efektivitas dan uji lapang, serta komersialisasi agen pengendali hayati.
  3. Pemanfaatan bakteri antagonis sebagai agen  pengendalian hayati akan semakin penting, yaitu guna mempersiapkan sistem akuakultur organik sehingga aplikasi bakteri antagonis pada budidaya udang windu dapat dijadikan sebagai dasar budidaya udang organik Indonesia.
5.2 Saran
1.      Beberapa jenis bakteri antagonis telah diketahui,namun bakteri antagonis tersebut bersifat spesifik di setiap daerah. Olehkarena itu, perlu dilakukan inventarisasi potensi agar bakteri antagonis dapatdimanfaatkan optimal.
2.      Perlunya kerjasama terpadu antara berbagai pihak,pemerintah, perguruan tinggi, dan pengusaha untuk memajukan budidaya udangwindu Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Atmosumarsono, M. M.I. Madeali, Muliani, dan A. Tompo. 1993. Studi KasusPenyakit Udang di Kabupaten Pinrang. di dalam: Hanafi, A., M. Atmosumarsono.,S. Ismawati. Seminar Hasil Penelitian Perikanan Budidaya Pantai; Maros, 16-19Juli. Maros.
Anonim. 2000. Bioluminessence. http://lux.ibp.ru/info/history_html_652ca394.jpg. [4Januari 2008].
Anonimous,2004c.  Draf Pedoman Umum PengendalianPencemaran di Kawasan Budidaya Perikanan. Subdit Pengendalian Pencemaran Laut, Direktorat Bina Pesisir DitjenP3K Departemen Kelautan dan Perikanan RI.
Austin,B., E. Baudet., M. Stobie. 1992. Inhibition of Bacteria Fish Patogens by Tetraselmissuecica. J. Fish ofDisease: 15: 53-61.
Breed, R.S.,E.G.D. Murray and A.P. Hitchens. 1948. Bergey’s Manual of DeterminativeBacteriology. 6th ed. Baltimore: Wevereley Press.
Dahuri, R. 2004.Perkembangan dan Harapan Pembangunan Perikanan Budidaya Indonesia ke Depan.dalam Simposium Perkembangan dan Inovasi Ilmu dan Teknologi Akuakultur. AgungSudaryono et al (ed.). Semarang: Masyarakat Akuakultur Indonesia.
Decamp,O. Adn D.J.W. Moriarty. 2006a. Probiotics as Alternative toAntimicrobials: Limitations and Potential. World Aquaculture: Dec, 2006. Vol 37(4): 60-62.
Egidius,E. 1987. Vibriosis. Pathogenicity and Pathology. A Review. Aquaculture: 87: 15-28.
FAO. 1988 Guidelines for theRegistration of Biological Pest Control Agents. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. 7 pp.
FAO. 1997. Code of Conduct For TheImport And Release ofExotic Biological Control Agents. Biocontrol News andInformation 18(4): 119N-124N.
Fegan, D.F. and H.C. Clifford III. 2001. HealthManagement for Viral Diseases in Shrimp Farms. In C.L. Browdy and D.E.Jory, editors. The New Wave, Proceedings of the Special Seassion on SustainableShrimp Culture. Aquaculture 2001. The World Aquaculture Society, Baton Rouge,Lousiana, USA.
Gatesoupe, F.J. 1999. The Use of Probiotics in Aquaculture. Aquaculture.180:147-185.
Gram, L., J. Melchiorsen, B. Spanggard, I. Huber, T.F. Nielsen. 1999.Inhibition of Vibrio anguilarum AH 2 a Possible Probiotic Treatment ofFish. Appl. Environ. Microbiol.: 123: 31-32.
Gultom, D.M. 2003. PatogenisitasBakteri VibrioHarveyii Pada Larva Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.). Bogor: Institut PertanianBogor.
Hadiwiyoto,S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Yogyakarta: Liberty.
Haris, E. 2007. Terobosan Baru dalam Produksi Udang yangBerkelanjutan dan Aman. Makalah Presentasi Konferensi Aquaculture Indonesia.Surabaya, 5-7 Juni 2007. Masy. Akuakultur Indonesia. 7 hal.
Herawati, E. 1996. Karakterisasi Fisiologi dan GenetikVibrio Berpendar sebagai Penyebab Penyakit Udang Windu. Bogor:Institut Pertanian Bogor.
Holt, J.G., N.R. Krieg, P.H.A. Sneath, J.T. Stanley, and S.T.Williams. 1994.Bergey’s Manual ofDeterminative Bacteriology. Ninth Edition_ Williams and Wilkins, Balmore,Maryland, USA. 373.
Irianto, A. 2003. Probiotik Akuakultur. Yogyakarta:GadjahmadaUniversity Press.
Isnansetyo, A. 2005. Bakteri Antagonis sebagaiProbiotik untuk Pengendalian Hayati pada Akuakultur. Jurnal Perikanan: Vol. VII (1): 1-10.
Jiranvanichpaisal, P., P. Chauchowang. 1997. The Use of Lactobacillus sp.as the Prebiotic Bacteria In The Giant Tiger Shrimp. Phuket, Thailand.
Kamei, Y. and A. Isnansetyo. 2003. Lysis of Methicilin-Resistant Staphylococcusaureus by 2,4-diacetylphloroglucinol Produced By Pseudomonas sp.AMSN Isolated From Marine Alga Int. J. Antimicrob Agents: 21: 71-74.
Kordi, M.G.H. 1997.Budidaya Air Payau. Semarang: Dahara Prize.
Lightner,D.V. 2003. Exclusion of Specific Pathogens for Disease Control in a PenaidShrimp Biosecurity Program. In C.S. Lee and P.J. O’Bryen, editors.Biosecurity in Aquaculture Production Systems; Exclusion of Pathogens and OtherUndesirables. The World Aquaculture Society,Baton Rouge, Lousiana, USA.
Muliani. 2002. Isolasi dan Karakterisasi BakteriAsal Laut Sulawesi untuk Biokontrol Penyakit Vibriosis pada Udang Windu. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Prayitno, S.B. 1994. Studies of Bacteria Causing Prawn Disease inIndonesia with Special Emphasis on Luminous Bacterial Disease. Bangor: School ofOcean Science. University of North Wales.
Putraatmaja,  E. 1997. Analisis Residu Antibiotik Pada UdangAkibat Perlakuan Sebelum Proses Pengolahan. Bogor: InstitutPertanian Bogor.
Rahmatun,S. dan Ahmad Mujiman. 1989. Budidaya Udang Windu. Jakarta: Penebar Swadaya.
Roza,D. dan Zafran. 1998. Pengendalian Vibrioharveyi Secara Biologis pada Larva Udang Windu (Penaeus monodon): AplikasiBakteri Penghambat. J. Penelitian PerikananIndonesia: 4 (2) : 24-30.
Roza, D. dan F. Johnny. 1999. Pengendalian Vibrio harveyi pads Larva Kepiting Bakau (Scyila serrata Forsskal)Melalui Disinfeksi Induk SelamaFengeraman Telur. J. Penelitian Perikanan Indonesia: 5 (2) : 28-34.
Suprapto, H. 2005. StudiPendahuluan Bacillus sp. sebagai Probiotik untuk Mengurangi JumlahBakteri Vibrio sp. pada Hepatopangkreas dan Air Pemeliharaan. Jurnal Perikanan: Vol. VII (1): 54-59.
Sugita. H. K. Shibuga. 1996. Antibacterial Capabilies of InstinalBacteria I Fresh Water Cultured Fish. Aquaculture: 145: 195-203.
Suryadarma, J. 2004.Manis Getirnya Eksportir Produk Akuatik Indonesia. di dalam: AgungSudaryono et al (ed.). Simposium Perkembangan dan Inovasi Ilmu danTeknologi Akuakultur; Semarang. Semarang: Masyarakat Akuakultur Indonesia. 249-251.
Susanto, B., L Setyadi, D. Syahidah, M. Marzuki dan Rusdi. 2005.Penggunaan Bakteri ProbiotikSebagai Kontrol Biologi dalam Produksi Massal Benih Rajungan (Portunuspelugicus). J. Perikanan Indonesia: 11 (1): 15-23.
Tangko, A.M., A. Mansyur,dan Reski. 2007. Penggunaan Probiotik pada Pakan Pembesaran Bandeng dalamKeramba Jaring Apung di Laut. J. Riset Akuakultur: 2: 33-40.
Tepu, I. 2006. SeleksiBakteri Probiotik untuk Biokontrol Vibriosis pada Larva Udang Windu Penaeusmonodon Menggunakan Cara Kultur Bersama. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Tjahjadi, M.R. 1994.Bakteri Penghambat Vibrio harveyii untuk Menanggulangi PenyakitBerpendar pada Larva Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.). Bogor:Institut Pertanian Bogor.
Tompo, A., E.Susianingsih., M.E. Madeali, dan M. Atmomarsono. 2006. di dalam Murwantoko et. al. PengaruhVaksinasi untuk Pencegahan Penyakit pada Budidaya Udang Windu (Penaeusmonodon Fabr.) di Tambak. 27 Juli. Yogyakarta: Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UGM. 244-249.
Tricahyo, E. 1992. Biologi dan Kultur Udang Windu. Jakarta:Akapress.
Wyban, J.A., dan Sweeney, J.N., 1991. Intensive Shrimp ProductionTechnology. Hawai: The Oceanic Institute.
Lampiran 1. Karakteristik dua isolat bakteriantagonis dibandingkan dengan Flavobacterium meningosepticum menurut Cowan(1974) dan Acuigrup (1980) serta Vibrio alginolyticus menurut Bauman etal., (1984) dan Holt et al., (1994)
Karakteristik
Isolat GSB-95030
V. algino Bauman et al. (1984)
V. algino
Holt et al. (1984)
Isolat GSB-95033
F. mening. Cowan
(1874)
F. mening. Acuigrup
(1980)
Pewarnaan Gram
Gerakan pada MA
+
+
+
Nt
Katalase
+
+
+
+
+
+
Oksidase
+
+
F
O
Nt
O
Uji O-F
F
F
+
+
Motility
+
+
H2S
+
Indol
+
+
Gas dari glukosa
L arginin
+
+
+
+
+
+
L ornitin
Lysin
Gelatin
+
+
+
+
Asam dari
Arabinose
+
Nt
+
Glucose
+
+
+
+
+
+
Lactose
Sucrose
+
+
+
Nt
Xylose
Nt
Nt
Bercahaya
Tumbuh pada
SS agar
Nt
Nt
Nt
Nt
MC agar
Nt
Nt
Nt
+
+
Nt
TCBS agar
Y
Y
Y
Tumbuh(0C)
30
+
+
+
+
+
+
35
+
+
+
+
+
+
42
+
+
+
Pigmentasi
Y
Y
Y
+ = positif                      – = negatif                   Nt = tidak diuji
O = oksidatif                  F = fermentative         Y= kuning
Sumber: Roza et al., 1999
Lampiran 2. Komposisi bahan dalam setiap gram Haimix-S/g
Komposisi
Kandungan
Lactobacillus Powder
4×105 cell
Dextrose
80 mg
Ascorbic Acid
3 0 mg
Biodiastase
1 5 mg
Nicotinamide
1 0 mg
Lycine HCl
10 mg
Dibasic
10 mg
Dextrine
10 mg
Mononitrate
2 mg
Pan totenate
2 mg
Lactose
1 mg
Vitamin B
1 mg
Vitamin E
1 mg
Folic Acid
0.5 mg
Vitamin A
2,500 lu
Vitamin D
200 Iu
Sumber : Yastar International Co. LtdSingen cit. Tangko et al., 2007




Bagikan ke teman: