Sebagai putra asli Palembang, Ishak Sulaiman sukses mengembangkan usaha dengan memanfaatkan Sungai Musi. Ia menjadi pionir budidaya ikan air tawar di keramba yang diletakkan di pinggiran sungai terpanjang di Pulau Sumatra. Saat ini, setiap bulan, Ishak bisa mengumpulkan omzet hingga Rp 115 juta.
Bagi masyarakat Indonesia, nama sungai Musi yang membelah kota Palembang sudah tidak asing lagi. Bahkan, Sungai Musi menjadi ikon ibukota Provinsi Sumatera Selatan tersebut.
Dari tepian Sungai Musi inilah Ishak Sulaiman berasal. Pria berusia 52 tahun ini merupakan wirausahawan yang cukup terkenal di sekitar Sungai Musi.
Ia menggarap usaha budidaya ikan air tawar di pinggiran Sungai Musi. Dengan usaha itu, Ishak bisa mengumpulkan omzet hingga Rp 115 juta per bulan.
Selama ini, potensi yang ada di pinggiran Sungai Musi hanya dimanfaatkan untuk mendukung sektor pariwisata. Pasalnya, selain sebagai kota yang memiliki sungai terpanjang di Pulau Sumatra, Palembang juga menyimpan kisah sejarah dengan adanya Jembatan Ampera dan Benteng Kuto Besak.
Selain itu Sungai Musi juga banyak menjadi latar belakang restoran, seperti Restoran Terapung Riverside dan Restoran Terapung Waroeng Legenda. Padahal usaha berbasis alam seperti budidaya ikan air tawar sangat menjanjikan.
Meski hanya tamat Sekolah Dasar (SD), Ishak memiliki keinginan besar untuk menjadi orang sukses. Tak hanya sukses dengan usahanya saja, ia ingin sukses menggali potensi daerah sekitar. “Saya percaya, kalau kita bisa membangun usaha dari lingkungan sekitar manfaatnya akan lebih terasa bagi masyarakat,” ujarnya.
Dengan modal seadanya, Ishak pun mencoba usaha budidaya ikan air tawar pada tahun 1992. Ia memelihara ikan bawal, baung, patin dan lele jumbo.
Berawal dari metode pembibitan dengan wadah kolam, pada tahun 1996, Ishak mengganti dengan metode penggunaan keramba. Selain punya kapasitas lebih besar, dengan keramba ikan lebih terbiasa hidup di habitat aslinya.
Di awal peralihan itu, Ishak hanya memiliki dua keramba yang diisi 1.500 ikan per keramba. Namun, berkat kegigihannya, kini ia sudah memiliki 12 keramba dengan kapasitas 40.000 ekor ikan tiap satu keramba.
Ishak pun bisa memanen keramba empat hingga lima kali setahun. Dalam sekali panen, ia bisa menjual hingga tiga ton ikan.
Harga jual ikannya cukup beragam. Ikan baung dijual dengan harga Rp 25.000 hingga Rp 35.000 per kilogram (kg). Ikan bawal seharga Rp 8.000 hingga Rp 11.000 dan harga ikan patin dengan Rp 9.000 hingga Rp 14.000 per kg.
Ishak menjual ikannya ke pedagang di pasar-pasar Palembang. Selain itu, beberapa restoran juga mengambil ikan darinya. Permintaan pun akan melonjak hingga mencapai 40% dari biasa, menjelang Lebaran.
Hingga saat ini, boleh dibilang, Ishak merupakan pionir budidaya ikan air tawar di daerahnya, pinggiran Sungai Musi. Potensi Sungai Musi sebenarnya sangat besar, namun kendala teknis mau pun psikologis membuat hampir tidak ada yang mau mencoba membuat usaha budidaya.
Kendala teknis yang sering ditemui, mulai dari perubahan cuaca ekstrem yang terjadi di pinggiran sungai Musi hingga kesulitan untuk memperoleh modal.
Apalagi, sejak tiga tahun belakangan ini, kondisi iklim di Indonesia secara umum, dan Palembang secara khusus, sulit diprediksi. Ini makin menyiutkan nyali pembudidaya yang ingin menyusul langkah Ishak.
Sedangkan kendala psikologis adalah kekhawatiran akan kegagalan dalam memulai usaha. “Padahal mulai saja belum, tapi kebanyakan mereka sudah takut,” ujar Ishak.
Tentu saja Ishak tak tinggal diam. Ia berusaha membantu orang-orang yang ingin meniru usahanya. Ishak membagikan pengalamannya dengan membolehkan mereka membantu mengurus keramba miliknya. Saat ini, sudah ada sekitar 10 orang yang ikut mengurus usahanya. “Semoga mereka bisa mengikuti langkah saya,” ujarnya penuh harap.
Ia mengingatkan agar pengusaha baru kelak bisa bekerjasama dengan lingkungan sekitarnya. Tak dipungksiri, Ishak berkali-kali hampir menjadi korban pencurian ikan yang dilakukan oleh warga sekitar. Meski begitu, peristiwa itu tak mengurangi niatnya menolong warga sekitar.
Seperti pengusaha lainnya, Ishak Sulaiman pun menemui banyak rintangan dalam meraih impiannya. Ia yang merintis usaha dari nol harus bekerja ekstrakeras untuk meraih kesuksesan. Dengan sabar, Ishak membesarkan usahanya. Ia pun harus pergi ke pasar di saat semua orang masih terlelap, demi pakan ikan murah.
Merintis usaha dari nol memang bukan hal gampang. Pengusaha harus siap menghadapi banyak rintangan, baik yang bersifat fisik maupun psikologis. Ishak Sulaiman merasakan benar berbagai rintangan selama 20 tahun menggeluti usaha budidaya ikan air tawar.
Bapak empat anak ini bercerita, saat awal memulai usahanya, ia harus bangun setiap pukul 03.00 untuk pergi ke pasar induk Jaka Baring, Palembang. Di sana, ia harus mengumpulkan sisa-sisa kulit ikan untuk dimanfaatkan menjadi pakan.
Ia pun rela membantu para pedagang ikan di pasar itu, demi mendapatkan sisa kulit ikan secara cuma-cuma. “Saya harus mau disuruh-suruh orang yang lebih muda, karena saya memang membutuhkan kulit ikan itu,” kenangnya.
Ishak harus memilih pakan berupa kulit ikan demi memangkas biaya operasional usahanya yang masih berumur jagung. Dengan harga pakan pelet yang lumayan tinggi, mau tak mau, ia harus bisa menekan biaya agar bisa mendapatkan keuntungan.
Setelah berhasil merayu sekitar sepuluh pedagang ikan agar bisa mengambil kulit ikan secara gratis, ia menghadapi persoalan baru yakni membawa kulit-kulit ikan itu ke rumahnya. Maklum, saban hari, ia harus membawa limbah ikan ini seberat 50 kg.
Pertama-tama dia membawanya dengan menumpang angkot. Bau yang menyengat jelas mengganggu penumpang lain. Lantas, ia pun mencoba duduk di depan, yakni di sebelah sopir. Namun, lagi-lagi, bau menyengat tetap mengganggu dan mengudang protes oleh penumpang lain. “Mau tak mau, saya harus tahan diri dengan tak mendengar omongan mereka,” katanya.
Akhirnya, Ishak pun mengunakan sepeda untuk membawa pakan ikan itu. Tiap hari, ia menempuh jarak hampir 20 km dengan sepeda pinjaman dari tetangga. Setelah tiga bulan berlalu, Ishak pun bisa membeli sepeda motor sebagai alat transportasi harian.
Pelan-pelan, usahanya berkembang. Permintaan pun makin banyak. Ishak pun harus bekerja hingga pukul 23.00. “Saya hanya mengandalkan anak sulung saya untuk membantu,” katanya. Namun, Ishak sama sekali tak mengeluh karena keinginan kuatnya untuk bisa meraih sukses dan bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi.
Secara teknis, ia bercerita, ia mengalami kesulitan dalam membudidayakan ikan air tawar, khususnya ikan baung. Jika ikan bawal hanya membutuhkan waktu empat hingga lima bulan agar siap jual dan ikan patin butuh tujuh bulan untuk dijual, maka ikan baung membutuhkan waktu hingga sembilan bulan pemeliharaan sebelum dijual.
Selain waktu yang lebih lama, sifat kanibal juga mempersulit pembudidayaan baung. Kendala lain adalah menyiapkan keramba atau kolam yang terkadang tak sesuai dengan kondisi riil di sungai Musi.
Kini, Ishak mulai menikmati buah dari hasil kerja kerasnya. Seluruh anaknya mengenyam bangku kuliah. Ia juga sudah memiliki dua rumah yang lumayan besar.
Meski sudah sukses, Ishak tetap pada komitmennya ikut memajukan masyarakat sekitar dan memperluas usahanya. Ia ingin mencari lokasi baru untuk budidaya kerambanya.
Tapi, sebelum itu, ia ingin memperbaiki sistem manajemen usahanya. “Selama ini saya hanya menghitung kasar saja pemasukan, padahal memang dibutuhkan pembukuan yang terperinci,” ujarnya.
Manajemen yang baik akan mendukung usahanya dengan menambah lokasi baru. Bertambahnya keramba miliknya akan membuka lapangan kerja bagi masyarakat di sekitar Sungai Musi.
Ishak mengaku prihatin terhadap kondisi lahan seluas 3 juta hektare di daerah aliran sungai (DAS) Musi yang dianggap kritis akibat maraknya penebangan liar.
Kondisi ini dapat memicu banjir bandang dan tanah longsor. Ini bisa menghambat keinginan para calon pembudidaya untuk ikut terjun dalam bisnis budidaya ikan air tawar di sekitar sungai Musi. “Masyarakat sekitar siap bekerja sama dengan pemerintah daerah agar masalah ini bisa segera terselesaikan,” ujarnya.