Penulis waktu kecil sekitar usia SD masih sering mendengar suara seram burung Bubut, biasanya di sore hari lebih ramai terdengar bersahut-sahutan di sarangnya. Burung bubut ini lebih banyak dijumpai pada habitat rawa atau semak-semak dekat dengan sungai. Bubut Besar adalah spesies burung yang mempunyai paruh tajam, berdarah panas, dan membiak dengan cara bertelur. Dahulu penulis sering menjumpai burung Bubut di sekitar semak-semak pohon pandan di daerah lereng “pegunungan So” desa Pare Kabupaten Sleman.
Penampilannya menyeramkan dan aromanya yang kurang sedap, membuat burung yang satu ini jarang dipelihara oleh orang. Bubut begitulah namanya atau nama latinnya Centropus Negrorufus , burung Bubut ini dinamai demikian karena merujuk dari suaranya yang berbunyi :”but….but…but…but”.
Sumber makanan burung Bubut ini bukanlah burung yang pemilih dari serangga, siput, kelabang, kepiting kecil, telur burung, katak dan ular pohon disantapnya. Dari jenis kebiasaan makannya Bubut ini memang sama dengan Gagak. Kedua burung ini diyakini masyarakat memiliki hubungan dengan alam gaib karena kemunculannya dikaitkan dengan kejadian kejadian tertentu yang bersifat buruk, karena itulah tak jarang warga mengusirnya kala berkeliaran di rumah mereka.
Namun dibalik penampilannya yang menyeramkan burung Bubut dan predikat jelek yang disandangnya burung ini ternyata banyak dicari orang karena mempunyai khasiat yang besar manfaatnya. Khasiat burung Bubut diyakini bisa sebagai obat untuk patah tulang dan konon kabarnya banyak juga di lakukan oleh masyarakat Dayak di pedalaman kalimantan dan tak hanya untuk obat patah tulang tapi juga buat obat keseleo.
Penulis sendiri masih belum percaya kalau burung Bubut ini berkhasiat untuk obat patah tulang. Untuk membuatnya adalah dengan membutuhkan 1 liter minyak kelapa murni dan seekor burung Bubut. Minyak kelapa ini bukan sembarang minyak, tetapi minyak yang dibuat dari kelapa yang letak buahnya menghadap ke arah kiblat. Dan mendapatkannya tidak boleh dijatuhkan dari atas pohon kelapa, tetapi dipetik dan dibawa turun dengan cara digigit. Setelah burung itu disembelih dan dibersihkan lalu direndam dalam minyak kelapa dan dijerang di atas kompor dengan api yang sedang saja. Api harus di jaga karena jangan sampai minyak menjadi terlalu mendidih sehingga burung Bubut tidak sampai matang dan hangus. Dan minyak yang hangat dari campuran minyak kelapa dan burung Bubut itulah yang bisa dipakai pengobatan. Dan agar minyak benar -benar siap proses pemasakan dilakukan selama tujuh hari terus menerus sampai daging burung Bubut itu mengkerut karena habis sari patinya.
Tetapi sebaiknya anda jangan percaya dengan mitos tersebut, karena dengan adanya kemajuan jaman dunia kedokteranpun makin lama makin maju sehingga tidak perlu lagi memburu burung Bubut yang sudah diambang kepunahan. Suara, rupa dan bau boleh saja tidak sedap, tetapi bukan berarti jenis ini lantas boleh dienyahkan. Hanya saja memang untuk Indonesia masih menjadi problem ketika jaminan kesehatan hanya bagi mereka yang berkantong tebal saja, sehingga orang miskin terpaksa masih mengandalkan terapi alternative dari para dukun patah tulang.
Bubut
Status konservasi Risiko rendah
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Aves
Ordo: Cuculiformes
Famili: Cuculidae
Genus: Centropus
Spesies: C. bengalensis
Nama binomial
Centropus bengalensi